Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Sample text

Sample Text

Rabu, 01 Oktober 2014

pengertian perbankan di indonesia

PERBANKAN


Bank merupakan lembaga keuangan yang sangat penting dalam perekonomian. Secara umum, bank didefinisikan sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah menghimpun dana dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit serta memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Menurut undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perbankan, bank merupakan lembaga keuangan yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali dalam bentuk pinjaman (kredit) dan atau bentuk lainnya, dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup orang banyak.
Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 10 Nopember 1998. Dalam kerangka perbaikan dan pengukuhan perekonomian nasional, walaupun Undang-undang No. 10 Tahun 1998 (untuk selanjutnya disingkat ‘UUP/1998′) hanya merupakan revisi, bukan mengganti keseluruhan pasal-pasal Undang-undang Perbankan lama, namun dilihat dari pokok-pokok ketentuannya, perubahannya mencakup penyehatan secara menyeluruh sistem Perbankan, tidak hanya penyehatan bank secara individual. Oleh karenanya issue-issue yang ditanggapinya pun cukup luas, yang dapat mempengaruhi secara mendasar arah perkembangan perbankan nasional.
Di antara issue-issue yang berusaha ditanggapi dalam ketentuan UUP/1998 tersebut adalah kemandirian Bank Indonesia dalam pembinaan dan pengawasan perbankan, lingkungan hidup, aspirasi dan kebutuhan masyarakat akan penyelenggaraan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, peningkatan fungsi social control terhadap institusi perbankan, perlindungan nasabah, pembukaan akses pasar dan perlakuan non diskriminatif terhadap pihak asing, liberalisasi serta issue-issue lain sebagai akibat adanya perubahan beberapa ketentuan dalam perundang-undangan baru bidang ekonomi dan bisnis. Responsi terhadap issue-issue tersebut, telah dikonkritkan dalam UUP/1998 dengan pembentukan pengertian, jenis kegiatan usaha, syarat dan prosedur, serta institusi-institusi baru sebagai penunjang kegiatan usaha perbankan. Sebagai contoh, diantaranya adalah pengertian baru rahasia bank, kegiatan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pengalihan tugas dan wewenang dari Menteri Keuangan kepada Pimpinan Bank Indonesia, serta pembentukan lembaga jaminan simpanan, lembaga penyehatan perbankan.
Ketentuan Baru Rahasia Bank
Sebagaimana telah disinggung di bagian pendahuluan, salah satu perubahan yang terdapat dalam UUP/1998, adalah ketentuan mengenai rahasia bank. Dilihat dari paragraf ke-8 Penjelasan Umum, perubahan ketentuan mengenai rahasia bank dihubungkan dengan upaya peningkatan fungsi kontrol sosial terhadap lembaga perbankan. Inti perubahan rahasia bank menurut UUP/1998, bila dibandingkan dengan ketentuan yang lama adalah perlunya peninjauan ulang atas sifat ketentuan rahasia bank yang selama ini sangat kaku dan tertutup. Jadi walaupun rahasia bank merupakan salah satu unsur yang harus dimiliki oleh setiap bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat yang mengelola dana masyarakat, namun UUP/1998 menetapkan untuk tidak merahasiakan seluruh aspek yang ditatausahakan oleh bank.
Berangkat dari dasar pemikiran tersebut, bilamana dibandingkan dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 (UUP/1992), perubahan ketentuan rahasia bank meliputi pengertian dan obyek rahasia bank, perluasan mengenai pihak dan kepentingan yang dapat mengecualikan ketentuan rahasia bank, pengalihan instansi yang berwenang memberi perintah atau izin pengecualian, dan ketentuan pidana berkenaan dengan rahasia bank. Pembahasan berikut ini mencoba menjelaskan satu persatu dari perubahan-perubahan tersebut.
Pertama, UUP/1992 memberi pengertian atas rahasia bank sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan. Berkenaan dengan pengertian tersebut, UUP/1992 menjelaskan bahwa yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan adalah seluruh data dan informasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari orang dan badan yang diketahui oleh bank karena kegiatan usahanya. Dengan demikian pengertian rahasia bank sebagaimana ditetapkan UUP/1992 sangat luas, baik menyangkut obyek maupun kedudukan nasabahnya. Hal ini berbeda dengan pengertian yang dianut UUP/1998, yang mengartikan rahasia bank sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya. Pengertian segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya memang tidak ada penjelasannya secara rinci, namun pengertian rahasia bank sebagaimana ditetapkan UUP/1998 secara tegas membatasi kedudukan nasabah yang wajib dirahasiakan keterangannya, yakni hanya Nasabah Penyimpan. Dalam penjelasan Pasal 40 ditegaskan, bilamana nasabah bank adalah Nasabah Penyimpan yang sekaligus juga sebagai Nasabah Debitur, bank wajib tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpan. Keterangan mengenai nasabah selain sebagai Nasabah Penyimpan, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan.
Kedua, sebagaimana menjadi ketetapan dalam UUP/1992, UUP/1998 juga memberi pengecualian kepada pihak-pihak serta untuk kepentingan tertentu mendapatkan keterangan yang wajib dirahasiakan mengenai nasabah bank. Bahkan UUP/1998 memperluas pihak dan kepentingan tersebut, sehingga secara keseluruhan adalah sebagai berikut:bagi pejabat pajak untuk kepentingan perpajakan; bagi pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara (BUPLN/PUPN) untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada BUPLN/PUPN;bagi polisi, jaksa atau hakim untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana;bagi pengadilan dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya;bagi bank lain dalam rangka tukar menukar informasi antar bank;bagi pihak lain yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan atas permintaan, persetujuan atau kuasa Nasabah Penyimpan;bagi ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan dalam hal Nasabah Penyimpantelahmeninggal dunia.Disamping tujuh pihak tersebut di atas, masih terdapat pihak-pihak lain yang dapat dikecualikan dari ketentuan rahasia bank, yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Akuntan Publik, dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Namun karena adanya kondisi khusus pengaturan bagi pengecualian terhadap pihak-pihak tersebut, terutama berkenaan dengan BPK dan Bapepam, maka akan dibahas tersendiri dalam bagian ‘Pengecualian Bagi BPK dan Bapepam’.
Ketiga, bagi pengecualian sebagaimana disebutkan di atas perlu dipenuhi syarat-syarat dan prosedur tertentu bilamana pihak-pihak ingin mendapatkan keterangan yang wajib dirahasiakan. UUP/1992 menetapkan bahwa perintah atau izin tertulis bagi pengecualian ada pada Menteri Keuangan, sedangkan UUP/1998 yang mempunyai semangat kemandirian Bank Indonesia, telah menetapkan bahwa perintah tertulis atau izin pengecualian tersebut ada pada Pimpinan Bank Indonesia. Menurut Pasal 1 butir 21 jo butir 20 UUP/1998, yang dimaksud Pimpinan Bank Indonesia adalah pimpinan Bank Sentral Republik Indonesia. Sedangkan dalam perkara perdata yang terjadi antara bank dengan nasabahnya, serta dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, tidak ada perbedaan antara UUP/1992 dengan UUP/1998, dimana keduanya mengizinkan direksi bank untuk menginformasikan keterangan mengenai nasabahnya.
Keempat, disamping memperberat ancaman pidana perbuatan yang telah dikenal dalam UUP/1992, yakni perbuatan yang dengan sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan tanpa membawa perintah tertulis atau izin; dan perbuatan yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan, UUP/1998 menambah satu jenis perbuatan pidana baru yang tidak dikenal dalam UUP/1992. Yakni perbuatan pidana yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A. Dengan adanya ketentuan ini berarti bank dan pihak terafiliasi bukan saja bertanggung jawab untuk tidak mengungkapkan rahasia bank kepada pihak-pihak yang tidak berwenang, melainkan juga bertanggung jawab untuk memberikan keterangan mengenai rahasia bank bilamana telah dipenuhi syarat-syarat dan prosedur pengecualian sebagaimana diatur UUP/1998.
Pengecualian Bagi BPK dan Bapepam
Selain bagi tujuh pihak dan kepentingan sebagaimana telah diterangkan di atas, UUP/1998 juga menyiratkan pengecualian rahasia bank bagi Badan Pemeriksa Keuangan berkenaan dengan keuangan negara yang dikelola oleh suatu bank, Akuntan Publik dalam melaksanakan pemeriksaan terhadap bank untuk dan atas nama Bank Indonesia, serta kepentingan di bidang pasar modal bagi bank yang melakukan kegiatan sebagai lembaga penunjang pasar modal. Selain bagi Akuntan Publik, pengaturan pengecualian terhadap ketentuan mengenai rahasia bank tersebut hanya terdapat dalam bagian Penjelasan UUP/1998, sedangkan bunyi pasalnya sendiri tidak menyinggung sama sekali mengenai pengecualian tersebut. Pengaturan tersebut dapat kita lihat dalam Penjelasan Pasal 31 Paragraf kedua dan Penjelasan Pasal 40 Paragraf ketiga dari UUP/1998, dan oleh karena itu dapat menjadi permasalahan, apakah pengecualian bagi kedua pihak dan kepentingan tersebut, yang timbul dari memori penjelasan berlaku dan mengikat? Hal ini penting untuk didiskusikan berkenaan dengan adanya pendapat bahwa Memori Penjelasan suatu undang-undang tidak boleh bertentangan dengan dan tidak boleh memberikan ketentuan tambahan di luar (pasal-pasal dari) undang-undang yang dijelaskannya. Pendapat seperti ini dianut oleh Sutan Remy Sjahdeini, Pakar Hukum Perbankan, yang juga menambahkan bahwa hal-hal yang dikemukakan di dalam Memori Penjelasan suatu Undang-undang tidak mengikat secara hukum, karena suatu undang-undang tetap berlaku dan mengikat sekalipun seandainya dikeluarkan tanpa diikuti Memori Penjelasan. Sebaliknya, suatu Memori penjelasan dari suatu undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum tanpa adanya Undang-undang (yang dijelaskan oleh Memori Penjelasan tersebut).
Ketidaktegasan mengenai pengecualian bagi BPK dan Bapepam ini, dapat menjadi faktor yang mempengaruhi kesempurnaan UUP/1998, karena ternyata UUP/1998 tidak berusaha sepenuhnya memasukkan kemungkinan yang diberikan perundang-undangan yang ada berkaitan dengan pengecualian pengungkapan rahasia bank. Padahal Pasal 101 Undang-undang Pasar Modal memberi kemungkinan bahwa dalam rangka pelaksanaan penyidikan, Bapepam dengan permohonan izin dari Menteri Keuangan dapat memperoleh keterangan dari bank tentang keadaan keuangan tersangka pada bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan. Sedangkan menurut Pasal 4 Undang-undang No. 5 tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, sehubungan dengan penunaian tugasnya, BPK berwenang meminta keterangan yang wajib diberikan oleh setiap orang, badan/instansi pemerintah atau badan swasta, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang.
Ketidaktegasan tersebut juga dapat dilihat dari tidak adanya ketentuan yang mewajibkan bank untuk memberikan keterangan mengenai nasabah kepada BPK dan Bapepam, sebagaimana diwajibkan bagi kepentingan perpajakan, BUPLN/PUPN, peradilan perkara pidana (Pasal 42A) dan pihak yang ditunjuk Nasabah Penyimpan (Pasal 44A). Sehingga atas kesengajaan tidak memberikan keterangan mengenai nasabah kepada BPK dan Bapepam tidak ada sanksi yang dapat diancamkan. Hal ini berbeda bila dibandingkan dengan ketentuan Pasal 47A UUP/1998, yang menetapkan bahwa kesengajaan tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud Pasal 42A dan Pasal 44A merupakan perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara serta denda.

Status Kerahasiaan Nasabah Debitur
Permasalahan lain yang perlu dibahas lebih lanjut berkenaan dengan ketentuan rahasia bank menurut UUP/1998 adalah bagaimana status kerahasian keterangan mengenai Nasabah Debitur. Apakah secara a contrario dapat ditafsirkan bahwa karena Pasal 40 UUP/1998 hanya mewajibkan Bank dan Pihak Terafiliasi menjaga kerahasiaan Nasabah Penyimpan dan Simpanannya, dan ditegaskan dalam Penjelasannya bahwa keterangan mengenai Nasabah selain dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpan bukan keterangan yang wajib dirahasiakan, menyebabkan keterangan mengenai Nasabah Debitur menjadi terbuka bagi siapa saja dan untuk kepentingan apapun?
Bila diperhatikan pengaturan mengenai rahasia bank di berbagai negara, maka terdapat penggolongan pengaturan sebagai berikut:
Yang memasukkan rahasia bank sebagai ketentuan pidana, dalam arti rahasia bank sebagai kewajiban publik, sebagaimana banyak dianut oleh negara yang menggunakan sistem hukum kodifikasi.
Yang memasukkan rahasia bank sebagai ketentuan perdata, dalam arti rahasia bank sebagai kewajiban yang timbul dari hubungan kontraktual, sebagaimana banyak dianut oleh sebagian besar negara yang menggunakan sistem Common Law.
Yang memasukkan sebagian pengaturan rahasia bank sebagai ketentuan pidana, namun di sebagian lain sebagai ketentuan perdata (kombinasi/campuran), sebagaimana dianut oleh negara Amerika Serikat.
Menurut penggolongan tersebut, UUP/1992 dapat digolongkan yang memasukkan rahasia bank sebagai ketentuan pidana. Hal ini dapat dilihat dalam keterangan Sutan Remy Sjahdeini sebagai berikut:
“… ketentuan atau kewajiban rahasia bank…, di Indonesia ditentukan sebagai ketentuan pidana oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.”
Dibandingkan dengan ketentuan UUP/1992, dalam UUP/1998 sebagaimana dapat dilihat dari ketentuan Pasal 40 ayat (1) jo. Pasal 47 UUP/1998, hanya memasukkan kewajiban menjaga keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya sebagai rahasia bank yang bersifat publik. Sedangkan keterangan mengenai Nasabah Debitur, secara letterlijk dikecualikan sebagai rahasia bank yang bersifat publik. Hal ini bisa dilihat dari penjelasan Pasal 40 ayat (1) paragraf ke-2 UUP/1998 yang berbunyi sebagai berikut:

“Keterangan mengenai Nasabah selain sebagai Nasabah Penyimpan, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan Bank.”
Ketentuan ini berbeda dengan obyek rahasia bank sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UUP/1992 yang tidak membedakan apakah nasabah tersebut sebagai Nasabah Penyimpan atau Nasabah Debitur. Segala keterangan yang tercatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah merupakan rahasia bank.
Meskipun keterangan mengenai Nasabah Debitur tidak diatur secara tegas dalam UUP/1998 sebagai rahasia bank, sebagaimana ketentuan rahasia bank menurut UUP/1992, namun perubahan ini hanya merupakan satu bentuk apa yang dikenal dalam ilmu hukum pidana sebagai depenalisasi. Depenalisasi di sini mempunyai pengertian bahwa perbuatan yang semula diancam dengan pidana, ancaman pidananya dihilangkan, akan tetapi masih dimungkinkan adanya tuntutan dengan cara lain, misalnya dengan melalui hukum perdata atau hukum administrasi. Artinya bahwa pengungkapan keterangan mengenai Nasabah Debitur yang dalam UUP/1992 ditentukan sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, dengan UUP/1998 ini dihilangkan ancaman pidananya, akan tetapi tidak menghilangkan sama sekali kemungkinan untuk dituntut secara perdata maupun administratif. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa tidak masuknya lagi keterangan mengenai Nasabah Debitur menjadi keterangan yang wajib dirahasiakan oleh Bank dan Pihak Terafiliasi sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 40 UUP/1998, bukan menghilangkan sifat wajib dirahasiakannya keterangan tersebut, namun hanya mengalihkan kewajiban tersebut yang tadinya merupakan kewajiban yang bersifat pidana (termasuk ketentuan yang bersifat publik) menjadi kewajiban yang bersifat perdata.
Alasan penulis mengenai hal tersebut adalah bahwa kewajiban merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Debitur merupakan kewajiban yang bersifat perdata, serta pengungkapan keterangan mengenai Nasabah Debitur dapat dituntut secara perdata adalah:
Pertama, hubungan antara bank dengan nasabah debitur merupakan fiduciary relation dan confidential relation, sehingga kepercayaan serta kerahasiaan hubungan keduanya merupakan moral obligation (kepatutan). Sejalan dengan hal tersebut dapat dikutip pernyataan M. Sholehuddin dalam bukunya yang berjudul ‘Tindak Pidana Perbankan’ sebagai berikut:
“Keharusan bagi bank untuk memegang teguh rahasia bank adalah implementasi dari hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya yang dilandasi oleh asas kerahasiaan (konfidensialitas). Oleh karenanya, maka hubungan antara bank dengan nasabah, baik nasabah penyimpan dana maupun nasabah debitur adalah hubungan kerahasiaan (confidential relation).”
Khususnya di bidang kredit, dapat ditambahkan pula di sini pendapat Sutan Remy Sjahdeini yang menyatakan bahwa:
“Bank hanya bersedia memberikan kredit kepada nasabah debitur atas dasar kepercayaan bahwa nasabah debitur mampu dan mau membayar kembali kredit tersebut, maka juga hubungan antara bank dan nasabah debitur, yaitu hubungan perjanjian kredit, bukanlah sekedar hubungan kontraktual biasa antara kreditur dan debitur tetapi juga hubungan kepercayaan (fiduciary relation).”Kedua
, hubungan hukum antara Bank dengan Nasabah Debitur adalah berdasarkan perjanjian yang diadakan antara Bank dengan Nasabah Debitur. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 butir 18 UUP/1998 sebagai berikut:
“Nasabah Debitur adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian Bank dengan Nasabah yang bersangkutan.”
Berdasarkan prinsip hubungan kerahasiaan, hubungan kontraktual antara Bank dengan Nasabah Debitur mengandung syarat yang tersirat (implied term) bahwa Bank dianggap mempunyai kewajiban untuk merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Debitur. Dalam hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa:“persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”
Ketiga, adanya kemungkinan Bank digugat melakukan perbuatan melanggar hukum oleh Nasabah Debitur, bilamana dengan pengungkapan keterangan mengenai Nasabah Debitur dipandang oleh Nasabah Debitur merugikan dirinya. Hal ini dimungkinkan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, yang secara tegas mengatur:
“tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Di samping dapat digugat melakukan perbuatan melanggar hukum, Bank juga dimungkinkan diancam pidana dengan menggunakan delik lain, yakni pengungkapan keterangan mengenai nasabah Debitur dapat dipersangkakan sebagai kejahatan rahasia jabatan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 322 KUHP, yang lengkapnya berbunyi:
Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah.
Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu. Dari dasar-dasar dan alasan sebagaimana dibahas di muka, maka keterangan mengenai Nasabah Debitur juga merupakan keterangan yang harus dirahasiakan, dimana kewajibannya timbul dari hubungan kontraktual antara Bank dengan Nasabah Debitur. Dengan demikian karena sifat kerahasiaan keterangan mengenai Nasabah Debitur lahir dari perjanjian (implied term, Pasal 1339 KUHPerdata), pengungkapannya haruslah memenuhi kualifikasi-kualifikasi tertentu pula yang disepakati antara Nasabah Debitur dan bank. Sedangkan alasan lain yang memperkuat bahwa keterangan mengenai Nasabah Debitur merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan adalah tidak adanya ketentuan UUP/1998 yang secara tegas mewajibkan Bank untuk memberikan keterangan mengenai Nasabah Debitur kepada siapapun dan untuk kepentingan apapun. Dengan demikian keterangan mengenai Nasabah Debitur bukanlah keterangan yang terbuka bagi siapa saja dan untuk kepentingan apapun, sehingga terdapat syarat dan kondisi yang membatasi bank untuk memberikan keterangan mengenai Nasabah Debitur dan Pinjamannya. Persoalannya kini adalah syarat dan kondisi apa yang membolehkan pengungkapan tersebut?
Untuk membahas pertanyaan tersebut, karena sejalan dengan pemikiran sistem hukum Common Law, di mana kewajiban merahasiakan timbul sebagai implied term dari perjanjian (kewajiban yang bersifat perdata), maka tidak ada salahnya untuk mempertimbangkan penggunaan kerangka berpikir sistem hukum Common Law dalam hal pengungkapan keterangan mengenai Nasabah Debitur ini. Dalam yurisprudensi Inggris, terdapat satu kasus klasik yang dipakai sebagai standar kualifikasi bagi pengungkapan keterangan mengenai nasabah, bahkan yurisprudensi ini pun pada akhirnya menjadi standar pula bagi hampir semua Negara Persemakmuran (Commonwealth), yakni putusan perkara Tournier v. National Provincial and Union Bank of England, 1924 (yang dikenal juga dengan sebutan Tournier’s Case). Dari putusan Tournier’s Case dapat diklasifikasikan bahwa Bank berhak untuk mengungkapkan keterangan mengenai nasabahnya bilamana memenuhi salah satu dari empat syarat/kondisi sebagai berikut:
Where disclosure is under compulsion by law.
Where there is a duty to the public to disclose.
Where the interest of the bank require disclosure.
Where the disclosure is made with the express or implied consent of the customer.
Penjelasan dari keempat syarat/kondisi tersebut, beserta contohnya adalah:
Pertama, bilamana pengungkapan tersebut diharuskan oleh hukum, misalnya dalam hal Bank dimintai bukti dalam pemeriksaan pengadilan, atau untuk kepentingan penyidikan. Dalam hal penyidikan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP, Bank dapat mengungkapkan keterangan mengenai Nasabah Debitur kepada penyidik sebagai berikut:
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia;
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, yakni di antaranya: (i) Pejabat PNS tertentu di lingkungan Direktorat jenderal Pajak untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan (Pasal 44 (1) UU No. 9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan); (ii)n Pejabat PNS tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Kepabeanan (Pasal 112 (1) UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan); (iii) Pejabat PNS tertentu di lingkungan Bapepam untuk melakukan penyidikan tidak pidana di bidang Pasar Modal (Pasal 101 ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal).
Kedua, bilamana bank berkewajiban untuk melakukan pengungkapan kepada masyarakat/publik, misalnya dalam hal dengar pendapat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di mana Bank mengungkapkan keterangan mengenai Nasabah Debitur tertentu dan pinjamannya untuk menjelaskan kepada masyarakat mengenai adanya dugaan terjadinya penyelewengan kredit oleh Bank terhadap Nasabah Debitur tertentu.
Ketiga, bilamana pengungkapan dikehendaki demi kepentingan Bank (Where the interest of the bank require disclosure), misalnya Bank demi kepentingan sendiri dapat mengungkapkan kepada pengadilan dalam pemeriksaan sengketa antara bank dengan seorang penjamin (guarantor) Nasabah Debitur.
Keempat, bilamana nasabah memberikan persetujuannya (Where the disclosure is made with the express or implied consent of the customer), misalnya dalam hal Nasabah memberikan referensi-referensi bank kepada pihak lain, atau Nasabah memberikan kewenangan kepada bank untuk mengungkapkan urusan-urusannya dalam rangka membantu akuntannya.
Simpulan
Sebagai perwujudan gagasan untuk meningkatkan fungsi kontrol sosial terhadap institusi perbankan, pembentuk undang-undang telah melakukan pembaruan dalam UUP/1998 terhadap ketentuan mengenai rahasia bank. Pembaruan tersebut meliputi pengertian dan obyek rahasia bank, perluasan mengenai pihak dan kepentingan yang mengecualikan ketentuan rahasia bank, pengalihan wewenang pemberian perintah dan izin pengecualian, serta memperberat ancaman pidana dan penambahan delik rahasia bank.
Khusus dalam pengaturan pengecualian ketentuan mengenai rahasia bank menurut UUP/1998, bagi BPK dan Bapepam, dikarenakan terdapat kondisi khusus, maka status pengecualiannya menjadi tidak jelas. Kondisi khusus tersebut adalah bahwa secara redaksional pengecualian bagi BPK dan Bapepam tidak disebutkan dalam pasal-pasal UUP/1998, hanya disebutkan dalam bagian penjelasan. Disamping itu tidak ada ketentuan dalam UUP/1998 yang mewajibkan bank untuk memberikan keterangan kepada BPK dan Bapepam, sedangkan di sisi lain terdapat peraturan perundangan yang memberikan wewenang bagi kedua pihak tersebut untuk mendapatkan keterangan mengenai nasabah bank.
Berkenaan dengan keterangan mengenai Nasabah Debitur, walaupun UUP/1998 tidak memasukkannya sebagai rahasia bank, namun pihak bank maupun pihak terafiliasi tetap mempunyai kewajiban untuk menjaga dan merahasiakannya. Kewajiban tersebut timbul dari sifat kontraktual antara bank dan nasabah debitur. Oleh karena itu menurut pendapat penulis, setiap pengungkapan keterangan mengenai Nasabah Debitur pun tidak dapat dilakukan tanpa memenuhi kualifikasi-kualifikasi tertentu.
Mishkin (2001: 8), secara sederhana menjelaskan bank sebagai lembaga keuangan yang menerima deposito dan memberikan pinjaman. Ia juga menjelaskan bahwa bank merupakan perantara keuangan (financial intermediaries), sehingga menimbulkan interaksi antara orang yang membutuhkan pinjaman untuk membiayai kebutuhan hidupnya, dengan orang yang memiliki kelebihan dana dan berusaha menjaga keuangannya dalam bentuk tabungan dan deposito lainnya di bank.
Financial intermediation merupakan suatu aktivitas penting dalam perekonomian, karena ia menimbulkan aliran dana dari pihak yang tidak produktif kepada pihak yang produktif dalam mengelola dana. Selanjutnya, hal ini akan membantu mendorong perekonomian menjadi lebih efisien dan dinamis.
Bank Indonesia (2006: 5), mengkategorikan fungsi bank sebagai financial intermediaries ini ke dalam tiga hal. Pertama, sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan. Kedua, sebagai lembaga yang menyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk kredit, dan yang ketiga, melancarkan transaksi perdagangan dan peredaran uang.
Beberapa karakteristik yang membedakan bank dengan non-bank financial intermediaries, menurut Bossone (2001), adalah sebagai berikut:
1.      bank menciptakan likuiditas dalam bentuk bank’s own liabilities atau surat utang yang dibuat untuk peminjam. Bank tidak melanjutkan likuiditas yang sudah ada, tetapi menambah likuiditas sistem setiap saat bank mengadakan kredit baru kepada perusahaan melalui penciptaan deposit. Sedangkan non-bank financial intermediaries bertindak sebagai capital market intermediaries yang mengumpulkan likuiditas yang sudah ada (bank deposit) dari savers dengan long position dan menginvestasikannya pada investor dengan short position.
2.      bank memberikan pengetahuan pada peminjamnya (borrowers) tentang operasi harian, kebutuhan likuiditas, aliran pembayaran, juga faktor jangka pendek dan pengembangan product market. Sedangkan non-bank mengembangkan pengetahuan tentang prospek usaha jangka panjang, investasi potensial, trend pasar (market trends), dan perubahan pada faktor fundamental ekonomi.
Bank memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian, terutama dalam sistem pembayaran moneter. Dengan adanya bank, aktivitas ekonomi dapat diselenggarakan dengan biaya rendah. Bank juga memiliki tiga karakteristik khusus yang berbeda dalam fungsinya bila dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya. Tiga hal tersebut menurut George (1997), adalah sebagai berikut.
Pertama, terkait dengan fungsi bank sebagai lembaga kepercayaan untuk menyimpan dana masyarakat, bank berperan khusus dalam penciptaan uang dan mekanisme sistem pembayaran dalam perekonomian. Keberadaan perbankan memungkinkan berbagai transaksi keuangan dan ekonomi dapat berlangsung lebih cepat, aman, dan efisien.
Kedua, sebagai lembaga intermediasi keuangan, perbankan berperan khusus dalam memobilisasikan simpanan masyarakat untuk disalurkan dalam bentuk kredit dan pembiayaan lain kepada dunia usaha. Hal ini akan memperbesar dan mempermudah proses mobilisasi dan alokasi sumber-sumber dana dalam perekonomian.
Ketiga, sebagai lembaga penanaman aset finansial, bank memiliki peran penting dalam mengembangkan pasar keuangan, terutama pasar uang domestik dan valuta asing. Bank berperan dalam mentransformasikan aset finansial, seperti simpanan masyarakat ke dalam bentuk aset finansial lain, yaitu kredit dan surat-surat berharga yang dikeluarkan pemerintah dan bank sentral.
Ketiga fungsi penting tersebut terkait dengan peran bank baik dari sisi mikro maupun makro. Dari sisi mikro, bank dibutuhkan sebagai lembaga kepercayaan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan menyimpan dana, memperoleh kredit dan pembiayaan lain, maupun dalam melakukan berbagai transaksi ekonomi dan keuangan. Dari sisi makro, bank dibutuhkan karena peran pentingnya dalam proses penciptaan uang dan sistem pembayaran, serta dalam mendorong efektivitas mekanisme transmisi kebijakan moneter dan efisiensi alokasi sumber dana dalam perekonomian (Warjiyo, 2006: 431–433). Peran tersebut menempatkan bank sebagai lembaga keuangan yang berperan penting dalam pada sistem perekonomian kita.
Risiko likuiditas (liquidity risk) merupakan salah satu jenis risiko yang dapat dialami oleh bank sebagai lembaga perantara keuangan (fianancial intermediary). Risiko ini terkait dengan masalah likuiditas dari perantara keuangan (bank) karena ada kemungkinan bagi deposan untuk menarik dana yang mereka simpan melebihi dari biasanya.
Sebagai contoh, hal ini dapat terjadi pada saat perekonomian sedang mengalami gejolak ekonomi (seperti fluktuasi nilai tukar) yang menyebabkan para penabung menarik dananya dari bank yang sakit maupun pada bank yang sehat, sehingga menimbulkan bank run. Untuk mengatasi masalah ini, biasanya pemerintah melakukan penjaminan terhadap dana yang disimpan oleh para penabung, karena penjaminan tersebut akan menyebabkan para penabung merasa aman dan mempercayai sistem perbankan. Pemerintah juga dapat bertindak sebagai the lender of the last resort, dengan memberikan bantuan likuiditas kepada bank yang mengalami masalah likuiditas.
Pada saat industri perbankan tidak memiliki pertahanan yang kuat dalam menjalankan usahanya, maka risiko–risiko tersebut dapat menyerang sektor perbankan. Jika hal ini semakin memperburuk kondisi perbankan, maka kepercayaan masyarakat terhadap kinerja perbankan akan semakin menurun. Masyarakat (nasabah) yang menyimpan uang di bank mulai tidak yakin akan kemampuan bank dalam memenuhi kewajibannya secara penuh, sehingga semakin banyak nasabah yang menarik uangnya dari bank. Krisis kepercayaan yang diikuti oleh penarikan dana secara besar–besaran dari bank oleh nasabah ini disebut sebagai bank runs. Berikut beberapa teori tentang penyebab dan dampak terjadinya bank runs (Bank Indonesia, 2002: 34–46):
1.      Teori penyebab bank run
1.      Moral hazard dan penurunan asset
Dalam teori ini diasumsikan bahwa banyak bank yang memperoleh fasilitas berupa kemudahan mendapatkan pinjaman dengan tingkat bunga yang aman dari pemerintah, sehingga terjadi persaingan dalam menyalurkan kredit. Hal ini mengakibatkan kinerja dari bank seolah–olah sangat sehat dibandingkan dengan kondisi yang sebenarnya. Penurunan nilai aset terjadi jika pemerintah tidak lagi memberikan jaminan pada pinjaman bank, sehingga mengubah ekspektasi investor karena mereka merasa dananya tidak aman lagi. Bank runs terjadi pada saat ketidakpercayaan investor atau nasabah diwujudkan dengan menarik dana mereka dalam jumlah besar.
2.      Disintermediasi dan likuidasi
Diasumsikan bahwa pihak bank adalah pihak yang baik, sehingga penyebab utama terjadinya krisis dan asset deflation adalah financial panic (bank runs) yang tidak diikuti oleh kebijakan yang tepat. Pihak bank melakukan investasi utamanya untuk jangka panjang, sehingga membutuhkan pembiayaan dana yang bersifat jangka panjang. Keadaan ini menyebabkan bank mudah terserang panik finansial.
2.      Teori tentang dampak bank runs
1.      No contagion effect
Berdasarkan teori no contagion effect, bank runs tidak akan merubah volume deposito dalam pengertian bahwa nasabah yang tidak percaya kepada suatu bank memindahkan dananya kepada bank lain, sehingga total simpanan dalam sistem perbankan akan tetap jumlahnya. Sebaliknya, koalisi antar bank (dimana bank yang mengalami excess liquidity mengalirkan dananya kepada bank yang kekurangan likuiditas) akan mengurangi efek bank runs lebih lanjut.
2.      Contagion effect
Ketidakpercayaan pada suatu bank juga akan membawa ketidakpercayaan kepada sistem perbankan secara keseluruhan, sehingga akan menimbulkan panics. Contagion effect dari bank runs suatu bank terjadi jika nasabah menarik dananya dari bank yang gagal dan yang masih baik dalam waktu yang sama tanpa adanya proses pemindahan deposito. Contagion effect dapat ditentukan dengan membandingkan uang kartal terhadap simpanan dana pihak ketiga (DPK) dalam sistem perbankan (rasio C/D).
Sebagai lembaga keuangan yang berperan penting bagi sistem perekonomian di negara kita, bank dituntut agar mampu mengelola berbagai risiko yang harus dihadapi oleh lembaga perantar keuangan. Jika tidak, maka risiko ini akan memberikan effect nya kepada para masyarakat. Tingkat kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada lembaga keuangan menentukan eksistensi dari lembaga keuangan (bank) tersebut yang akhirnya berpengaruh kepada kelancaran aliran dana dalam sistem perekonomian negara kita.
Masalah Perbankan , Renten dan Fee dalam  Pandangan Islam
Di dalam kehidupan modern ini keberadaan bank ternyata sudah menjadi kebutuhan yg penting bagi masyarakat luas. Mulai dari yg menabung yg meminjam uang dan sampai kepada yg menggunakan jasanya utk mentransfer uang dari satu kota atau negara kekota atau negara lain. Lalu bagaimanakah pandangan Islam tentang perbankan? Ikuti dan simak kajian berikut ini! Mengenai perbankan ini sebenaroya sudah dikenal kurang lbh 2500 sebelum masehi di Mesir Purba dan Yunani dan kemudian oleh bangsa Romawi. Perbankan modern berkembang di Itali pada abad pertengahan yg dikuasai oleh beberapa keluarga utk membiayai ke-Pausan dan perdagangan wol. Selanjutnya berkembang pesat pada abad ke-18 dan 19. Sesuai dgn fungsinya bank-bank terbagi kepada bank primer yaitu bank sirkulasi yg menciptakan uang dan bank sekunder yaitu bank-bank yg tidak menciptakan uang juga tidak dapat memperbesar dan memperkecil arus uang seperti bank-bank urnum tabungan pembiayaan usaha dan pembangunan. Kalau kita perhatikan bentuk hukumnya maka struktur bank-bank di Indonesia adalah bank-bank negara bank-bank pemerintah daerah bank-bank swasta nasional bank-bank asing campuran dan bank-bank milik koperasi. Dalam topik ini ada dua masalah yg akan dibahas yaitu bank dan rente bank dan fee. Pengertian Bank dan Rente Bank menurut Undang-undarig Pokok Perbankan tahun 1967 adl lembaga keuangan yg usaha pokoknya memberikankredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang. Dari batasan tersebut jelas bahwa usaha bank akan selaludikaitkan dgn masalah uang. Di dalam Ensikiopedi Indonesia disebutkan bahwa Bank ialah suatu lembaga keuangan yg usaha pokoknya adl memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang dgn tujuan memenuhi kebutuhan kredit dgn modal sendiri atau orang lain. Selain dari itu juga mengedarkan alat tukar baru dalam bentuk uang bank atau giral. Jadi kegiatannya bergerak dalam bidang keuangan serta kredit dan meliputi dua fungsi penting yaitu sebagai perantara pemberi kredit dan menciptakan uang. Rente adl istilah yg berasal dari bahasa Belanda yg lbh dikenal dgn istilah bunga. Oleh Fuad Muhammad Fachruddin disebutkan bahwa rente ialah keuntungan yg diperoleh perusahaan bank krn jasanya meminjarnkan uang utk melancarkan perusahaan orang yangmeminjam. Berkat bantuan bank yg meminjarnkan uang kepadanya perusahaannya bertambah maju dan keuntungan yg diperolehnya juga bertambah banyak. Menurut Fuad Fachruddin bahwa rente yg dipungut oleh bank itu haram hukumnya. Sebab pembayarannya lbh dari uang yg dipinjarnkannya. Sedang uang yg lbh dari itu adl riba dan riba itu haram hukumnya. Kemudian dilihat dari segi lain bahwa bank itu hanya tahu menerima untung tanpa risiko apa-apa. Bank meminjarnkan uang kemudian rentenya dipungut sedang rente itu semata-mata menjadi keuntungan bank yangsudah ditetapkan keuntungannya. Pihak bank tidak mau tahu apakah orang yg meminjam uang itu rugi atau untung. Di dalam Islam dikenal ada doktrin tentang riba dan mengharamkannya. Islam tidak mengenal sistem perbankan modern dalam arti praktis sehingga terjadi perbedaan pendapat. Beda pandangan dalam menilai persoalan ini akan berakibat timbul kesimpulan-kesimpulan hukum yg berbeda pula dalam hal boleh tidaknya serta halal haramnya. Dunia perbankan dgn sistem bunga kelihatannya semakin mapan dalam perekonomian modern selungga hampir tidak mungkin menghindarinya apalagi menghilangkannya. Bank pada saat ini merupakan sesuatu kekuatan ekonomi masyarakat modern. Dari satu segi ada tuntutan keberadaan bank itu dalam masyarakat utk roengatur lalu lintas keuangan di lain pihak masalah ini dihadapkan dgn keyakinan yg dianut oleh urnmat Islam yg sejak awal kehadiran agama Islam telah didoktrinkan bahwa riba itu haram hukumnya. Pada saat dihararnkan riba itu telah berurat berakar dalam masyarakat jahiliah yg merupakan pemerasan orang kaya terhadap orang miskin. Orang kaya bertambahkaya dan orang miskin bertambah melarat. Sebagian besar ulama membagi riba menjadi dua macam yaitu
Riba nasiah yaitu riba yg terjadi krn ada penangguhan pembayaran utang.
Riba fadhl riba yg terjadi krn ada tambahan pada jual beli benda atau bahan sejenis. Untuk menentukan status hukum bermuamalah yg baik masih banyak terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama di. antaranya
Abu Zahrah guru besar pada Fakultas Hukum Universitas Kairo Abu A’la al-Maududi di Pakistan Muhammad Abdullah al-’Arabi dan Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa bunga bank itu dilarang oleh Islam oleh sebab itu urnmat Islam tidak boleh bermuamalah dgn bank yg memakai sistem bunga kecuali dalam keadaan darurat . Di antara ulama tersebut Yusuf Qardhawi tidak mengenal istilah “darurat atau terpaksa” tetapi secara mutlak beliau menghararnkan.
Mustafa Ahmad az-Zagra guru besar hukum Islam dan hukum perdata Universitas Syariah di Damaskus mengernukakan bahwa riba yg dihararnkan sepeiti riba yg berlaku pada masyarakat jahiliah yg menipakan pemerasan terhadap orang yg lemah yg bersifat konsurntif. Berbeda dgn yg bersifat produktif tidak termasuk haram.
A. Hasan berpendapat bahwa bunga bank seperti yg berlaku di Indonesia bukan riba yg diharamkan krn tidak berlipat ganda sebagaimana yg dimaksud oleh firman Allah dalam surat Ali lmran 130.
Majelis Tafjih Muhammadiah dalam muktamaroya di Sidoarjo 1968 memutuskan bahwa bunga bank yg diberikan oleh bank kepada para nasabahnya atau sebaliknya termasuk syubhat atau mutasyabihat artinya belum jelas halal haramnya. Sesuai dgn petunjuk Hadis Rasulullah kita harus berhati-hati dalam menghadapi hal-hal yg masih syubhat itu. Dengan demikian kita boleh bermuamalah dgn bank apabila dalam keadaan terpaksa saja. Setelah kita perhatikan dalam garis besarnya ada empat pendapat yg berkembang di kalangan ulama mengenai masalah riba ini yaitu
Pendapat yg menghararnkan.
Pendapat yg menghararnkan bila bersifat konsurntif dan tidak haram bila bersifat produktif.
Pendapat yg mengatakan syubhat boleh tapi dalam keadaan terpaksa.
Pendapat yg membolehkan . Masing-masing kelompok yg berbeda pendapat itu semua merujuk kepada nash Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Narnun dalam memahaminya dan menafsirkannya terjadi perbedaan pendapat. Sebagai bahan kajian di bawah ini disebutkan ayat-ayat yg berhubungan dgn riba. Allah SWT berfirman yg artinya “Dan sesuatu riba yg kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia maka riba itu tidak menambah padasisi Allah. Dan apa yg kamu berikan berupa zakat yg kamu maksudkan utk mencapai keridhaan Allah maka itulah orang-orang yg melipatgandakan .” “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi Kami haramkan atas mereka yg baik-baik dihalalkan bagi mereka dan krn mereka banyak menghalangi dari jalan Allah dan disebabkan mereka memakan riba pudahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanyu dan krn mereka memakan harta orang dengun jalan yg butil. Kami telah menyediakan utk orang-orung yg kafir di antara mereka itu siksa yg pedih.” “Hai orang-orang yg beriman janganlah kamu memakan riba dgn berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keuntungan.” Dalam ayat di atas sudah ada ketegasan tentang larangan memakan riba. Sebagian besar ulama berpendirian bahwa riba yg dimaksud di sini adl riba nasi’ah itu tetap haram selamanya walaupun tidak berlipat ganda. Kata “berlipat ganda” dalam ayat tersebut hanya menyatakan peristiwa yg pernah terjadi di masa jahiliah dan jangan dipahami mafhum mukhalafnya yaitu sekiranya tidak berlipat ganda berarti tidak haram . “Orang-orung yg makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yg kemasukun syaitan lantaran penyakit gila. Keadaan mereka demikian itu adl disebabkan mereka berkata sesungguhnya jual beli itu sama dgn riba padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan menghararnkan riba. Orang-orang yg telah sampai kepadanya larangan dari Tahannya lulu terus berhenti maka baginya apa yg telah diambilnya dahulu ; dan urusannya kepada Allah. Orang yg mengulangi maka orang ita adl penghuni-penghuni neraka mereka kekal di dalamnya.” “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai tiap orang yg tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” “Sesungguhnya orang-orang yg beriman mengerjakan amal saleh mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat mereka mendapat pahala di sisi Tahannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak mereka bersedih hati.” “Hai orang-orang yg beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yg beriman.” Maka jika kamu tidak mengerjakan maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat maka bagirnu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya.” “Dan jika dalam kesukaran maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan itu lbh baik bagimu jika kamu mengetahui.” Oleh sebagian ulama seperti al-Maraghi dan as-Shabuni menyatakan bahwa pengharaman riba diturunkan secara bertahap sebagaimana keharaman khamar . Berturut-turut diturunkan ayat dalam surat Ar-Rum 39 An-Nisa 160-161 Ali ‘Imran 130 dan Al-Baqarah 275-280. Pada ayat 278 dgn tegas dinyatakan “Dan tinggalkan sisa riba .” Dan pada ayat 279 dinyatakan“Dan jika kamu bertaubat maka bagimu pokok hartamu.” Kalau masih ada sisa kelebihan yg belum dipungut tidak boleh lagi dipungut dan hanya dibenarkan memungut modalnya saja tidak boleh lebih. Hal ini berarti mengambil kelebihan itu tetap tidak boleh. Sebagian ulama yg lain berpendapat bahwa walaupun ayat yg disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat yg terakhir diturunkan tetapi dalam menetapkan hukumnya tetap ada kaitannya dgn surat Ali ‘Imran 130 yaitu haram hukumnya sekiranya berlipat ganda. Ada juga orang mempertanyakan mengapapa dagang yg mengambil kelebihan lbh besar dapat dibenarkan sedangkan bank yg memungut kelebihan yg hanya sedikit saja tidak dibenarkan? Mengenai hal ini barangkali jawaban yg tepat ialah bank tidak menanggung risiko rugi walaupun kelebihan tidak banyak. Sedangkan pada dagang ada kemungkinan menanggung risiko rugi krn dalam dunia dagang tidak mesti terus-menerus beruntung. Pihak bank tidak mau tahu apakah para peminjam rugi atau untung. Malahanbarang/jaminan pun dapat disita disamping kerugian yg dideritanya. Disamping ayat-ayat tersebut di atas diperkuat lagi dgn keterangan beberapa hadits seperti Rasulullah SAW bersabda yg artinya “Tiap-tiap pinjaman yg menarik suatu manfaat adl semacam riba.” . “Sesungguhnya Nabi SAW melarang pinjaman yg menarik suatu manfaat.” . “Tiap-tiap pinjaman yg menarik manfaat adl riba.” Sebagian ulama memandang bahwa hadis tersebut di atas ada cacatnya. Hadis pertama mauquf dan hadis kedua dan ketiga cacat sanadnya.lbnu Mas’ud berkata yg artinya “Sesungguhnya Nabi SAW telah melaknat pemakan riba pemberi makannya dan dua orang saksi dan penulisnya. Jika mereka tahu yg demikian maka mereka dilaknat dgn lidah Nabi Muhammad pada hari kiamat.” Sabda Nabi SAW yg artinya “Sesungguhnya riba itu hanya riba nasi’ah saja.” . Kendatipun di antara hadis itu ada yg dipandang lemah tetapi jiwanya sejalan dgn ayat-ayat riba di atas. Bank dan Fee Mengenai pengertian bank sudah dijelaskandi atas. Di sini akan disinggung mengenai masalah fee. Fee maksudnya adl pungutan dana utk kepentingan administrasi seperti keperluan kertas biaya operasional dan lain-lain. Adapun namanya pungutan itu tetap termasuk bunga. Dengan demikian persoalannya tetap sama seperti uraian terdahulu yaitu ada yg setuju dan ada pula yg menentangnya. Bagi ulama yg membolehkan pungutan dana dan peminjam dan pemberian dana kepada penabung tidak ada masalah bila bermuamalah dgn bank. Akan tetapi bagi ulama yg menyatakan syubhat atau boleh bermuamalah dgn bank dalam keadaan darurat masih mengundang pertanyaan. Sampai kapan masa darurat itu berakhir dan sampai kapan pemahaman syubhat itu hilang? Oleh sebab itu perlu ada solusi ada pemecahan masalah yg dihadapi oleh urnmat Islam mengenai perbankan ini. Salah-satu alternatif atau jalan keluarnya adl mendirikanBank Islam. Mengenai masalah ini akan diuraikan tersendiri. Bank Islam Dalam dunia usaha dan perdagangan sukar orang menghindar dari perbankan krn via bank lbh mudah melakukan lalu lintas keuangan.Tetapi.di sisi lain urnmat Islam dihadapkan kepada suatu ketentuan hukum yg terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama yaitu apakah bermuamalah dgn bank itu sesuai dengap ajaran Islam atau tidak? Keragu-raguan itu sedapat mungkin dihilangkan dan harus ada jalan keluar yg ditempuh agar perekonomian yg dijalankan urnmat Islam tidak bertentangan dgn ajaran Islam yg dianutnya. Menyadari akan kenyataan ini urnmat Islam telah berusaha mencari jalan keluarnya yaitu mendirikan Bank Islam krn Bank semacam ini menyediakan sarana bagi ummat Islam utk melakukan kegiatan muamalah sesuai dgn ajaran Islam. Sarana yg tersedia pada Bank Islam adl berupa fasilitas perbankan menurut ajaran Islam baik utk usaha yg produktif maupun investasi. Di dalam buku Apa dan Bagaimana Bank Islam oleh penulisnya disebutkan bahwa
Bank Islam didirikan krn dilatarbelakangi oleh keinginan urnmat Islam utk menghindar dari riba dalam kegiatan muamalahnya.
Bank Islam didirikan krn dilatarbelakangi oleh keinginan urnmat Islam utk memperoleh kesejahteraan lahir dan batin melalui kegiatan muamalah yg sesuai dgn perintah agama.
Bank Islam didirikan krn dilatarbelakangi oleh keinginan urnmat Islam utk mempunyai alternatif pilihan dalam mempergunakan jasa-jasa perbankan yg dirasakan lebib sesuai. Kemudian ada perbedaan prinsip manajemen antara Bank Islam dgn bank konvensional dalam mengharmonisasikan kepentingan penyandang dana pemegang saham dan pemakai dana. Pada bank konvensional kepentingan penyandang dana adl memperoleh imbalan berupa bunga simpanan yg tinggi sedang kepentingan pemegang saham adl memperoleh imbalan spread yg optimal antara suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman. Kepentingan pemakai dana adl biaya yg lbh murah berupa tingkat bunga yg rendah. Dengan demikian terhadap ketiga kepentingan tersebut sulit diharmonisasikan. Berbeda dgn Bank Islam bahwa kepentingan penyandang dana pemegang saham dan pemakai dana dapat diharmonisasikan karenasistem bagi hasil. Masing-masing memperoleh imbalan bagi hasil sesuai dgn keadaan yg benar-benar terjadi. Dengan demikian manajemen bank berusaha mengoptimalkan keuntungan pemakai dana krn pemakai dana itulah pada hakikatnya yg berdiri di barisan depan utk mengelola dana yg dipinjarnkan oleh bank. Pada dasarnya Bank Islam tidak menyalurkan dana secara langsung kepada pemakai dana tetapi dalam bentuk barang yangdiperlukan dan pihak banklah yg mengeluarkan biayanya. Pemakai dana menunjuk langsung pemasok barang dgn kualitas dan harga pantas yg berlaku di pasaran. Dalam keadaan tertentu Bank Islam dapat menyalurkan dana dalam bentuk tunai kepada pemakainya sebagai pelengkap dan jumlahnya lbh kecil dari modal yg berbentuk barang. Sebagai ganti sistem bunga. Bank Islam menggunakan berbagai cara yg bersih dari unsur riba antara lain ialah
MudharabahMudbarabah ialah suatu perjanjian usaha antara pemilik modal dgn pengusaha. Pemilik modal menyediakan seluruh dana yg diperlukan dan pihak pengusaha melakukan pengelolaan. Hasil usaha bersama ini dibagi sesuai dgn kesepakatan bersama pada saat dibuat dan ditandatangani perjanjian. Umpamanya 60 40; 50 50. Sekiranya terjadi kerugian yg bukan krn penyelewengan atau keluar dari kesepakatan maka pemilik modal dan pengusaha sama-sama menanggung rugi yaitu rugi dana dan nigi tenaga .
Pihak perbankan dan pengusaha biasanya lbh berhati-hati dalam menjalankan peran masing-masing.Tata cara yg lbh rinci demikian
Pihak bank menyediakan dana sepenuhnya utk keperluan suatu proyek.
Pengusaha mengelola proyek itu tanpa campur tangan pihak bank narnun diberi wewenang utk mengawasi proyek tersebut.
Pihak bank dan pengusaha menetapkan bersama mengenai pembagian keuntungan.
Bila terjadi kerugian maka pihak bank yg memikul risiko sedang pihak pengusaha menanggung kerugian tenaga pikiran waktu dan managerial skill seita kehilangan keuntungan bagi hasil yg seharusnya diperolehnya.
MusyarakahMusyarakah ialah suatu perjanjian usaha antara dua atau beberapa orang pemilik modal utk menyerahkan modalya pada suatu proyek. Keuntungan dibagi atas kesepakatan bersama atau berdasarkan besar kecilnya modal masing-masing. Demikian juga mengenai kerugian yg diderita dicantumkan dalam perjanjian kerja sama itu. Dalam masyarakat kita kenal dgn istilah patungan . Bank di satu pihak dan pengusaha di pihak lain.
MurabahahMurabahah ialah pembelian barang dgn pembayaran ditangguhkan. Pembiayaan murabahah adl pembiayaan yg diberikan kepada nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan produksi.
Cara yg ditempuh ialah pihak bank membelikan barang-barang yg diperlukan oleh nasabah atas nama bank tersebut. Pada saat itu juga pihak bank menjual barang tersebut kepada nasabah dgn harga yg disetujui bersama dan akan dibayar dalam jangka waktu tertentu pula.Dalam jangka waktu yg telah ditetapkan itu harga tidak boleh berubah walaupun di pasaran harga naik atau turun. Pada saat jatuh tempo belum tentu pihak bank mendapat keuntungan bila harga barang naik . Demikian juga sebaliknya adakalanya nasabah yg rugi krn barang turun drastis.
Wadi’ahWadi’ah ialah titipan . Pihak bank berkewajiban menjaga titipan itu dgn penuh amanah.Di antara barang titipan itu atas seizin penitip dapat dipergunakan . Bila mendapat keuntungan dari pemanfaatan barang titipan itu sepenuhnya menjadi milik bank. Bila sewaktu-waktu titipan itu diminta kembali pihak bank harus mengembalikan sepenuhnya sesuai dgn yg tercantum dalam surat penitipan dan jangka waktu yg telah ditetapkan. Bila pihak bank memberikan bonus kepada para nasabahnya tidak bertentangan dgn ajaran Islam asal tidak ada perjanjian sebelumnya. Hal ini sangat bergantung kepada pihak bank berapayang pantas diberikannya. Demikian gainbaran singkat yg dapat ditempuh agar terhindar dari kemungkinan terlibat ke dalam riba yg dilarang oleh agama Islam walaupun batas-batas yg dianggap riba masih diperselisihkan di kalangan para ulama. Jalan yg lbh aman adl menempuh praktek muamalahberdasarkan ajaran lslam seperti Banklslam yaitu BankMuamalat BMT Baitui Qiradh Baital Tanwil BPS Syari’ah dan nama-nama lainnya yg beroperasi sesuai dgn syariat Islam. Suatu sistem atau cara perbankan yg dibuat agar sesuai dgn syariat tidaklah secara otomatis melabelkan halal 100 %. Hal ini tergantung kenyataan praktek di lapangan. Apabila kenyataan di lapangan para oknum-oknumnya sama dgn menggunakan sistem seperti bank konvensional ketika diluarnya tentulah hukum haram dan yg masih diperdebatkan tetap berlaku padanya. Jadi perlu adanya keselarasan antara teori dan prakteknya di lapangan. Bagi bangsa Indonesia hal ini baru mulai berkembang dalam masyarakat dan belum memasyarakat di kalangan urnmat Islam. Dalam bermuamalah telah lama terbiasa dgn bank konvensional yg dikenal selama ini. Pada suatu ketika masyarakat akan dapat memahaminya danmengikutinya bila temyata dilihatnya keberhasilan bank-bank atau lembaga-lembaga yg mengatur lalu lintas keuangan yg bercorak Islam yg sudah mulai hadir dalam masyarakat bangsa Indonesia. Lebih menarik sekarang telah terdengar bahwa warga non muslim telah banyak yg terlibat di dunia perbankan dgn sistem Islam.

0 komentar:

Posting Komentar