PERBANKAN
Bank
merupakan lembaga keuangan yang sangat penting dalam perekonomian. Secara umum,
bank didefinisikan sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah
menghimpun dana dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit serta
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Menurut
undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perbankan, bank merupakan lembaga
keuangan yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kembali dalam bentuk pinjaman (kredit) dan atau bentuk lainnya,
dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup orang banyak.
Undang-undang
Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 10 Nopember 1998.
Dalam kerangka perbaikan dan pengukuhan perekonomian nasional, walaupun
Undang-undang No. 10 Tahun 1998 (untuk selanjutnya disingkat ‘UUP/1998′) hanya
merupakan revisi, bukan mengganti keseluruhan pasal-pasal Undang-undang
Perbankan lama, namun dilihat dari pokok-pokok ketentuannya, perubahannya
mencakup penyehatan secara menyeluruh sistem Perbankan, tidak hanya penyehatan
bank secara individual. Oleh karenanya issue-issue yang ditanggapinya pun cukup
luas, yang dapat mempengaruhi secara mendasar arah perkembangan perbankan
nasional.
Di
antara issue-issue yang berusaha ditanggapi dalam ketentuan UUP/1998 tersebut
adalah kemandirian Bank Indonesia dalam pembinaan dan pengawasan perbankan,
lingkungan hidup, aspirasi dan kebutuhan masyarakat akan penyelenggaraan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, peningkatan fungsi social control
terhadap institusi perbankan, perlindungan nasabah, pembukaan akses pasar dan
perlakuan non diskriminatif terhadap pihak asing, liberalisasi serta
issue-issue lain sebagai akibat adanya perubahan beberapa ketentuan dalam
perundang-undangan baru bidang ekonomi dan bisnis. Responsi terhadap issue-issue
tersebut, telah dikonkritkan dalam UUP/1998 dengan pembentukan pengertian,
jenis kegiatan usaha, syarat dan prosedur, serta institusi-institusi baru
sebagai penunjang kegiatan usaha perbankan. Sebagai contoh, diantaranya adalah
pengertian baru rahasia bank, kegiatan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah,
pengalihan tugas dan wewenang dari Menteri Keuangan kepada Pimpinan Bank
Indonesia, serta pembentukan lembaga jaminan simpanan, lembaga penyehatan
perbankan.
Ketentuan Baru Rahasia Bank
Sebagaimana
telah disinggung di bagian pendahuluan, salah satu perubahan yang terdapat
dalam UUP/1998, adalah ketentuan mengenai rahasia bank. Dilihat dari paragraf
ke-8 Penjelasan Umum, perubahan ketentuan mengenai rahasia bank dihubungkan
dengan upaya peningkatan fungsi kontrol sosial terhadap lembaga perbankan. Inti
perubahan rahasia bank menurut UUP/1998, bila dibandingkan dengan ketentuan
yang lama adalah perlunya peninjauan ulang atas sifat ketentuan rahasia bank
yang selama ini sangat kaku dan tertutup. Jadi walaupun rahasia bank merupakan
salah satu unsur yang harus dimiliki oleh setiap bank sebagai lembaga
kepercayaan masyarakat yang mengelola dana masyarakat, namun UUP/1998
menetapkan untuk tidak merahasiakan seluruh aspek yang ditatausahakan oleh
bank.
Berangkat
dari dasar pemikiran tersebut, bilamana dibandingkan dengan Undang-undang No. 7
Tahun 1992 (UUP/1992), perubahan ketentuan rahasia bank meliputi pengertian dan
obyek rahasia bank, perluasan mengenai pihak dan kepentingan yang dapat
mengecualikan ketentuan rahasia bank, pengalihan instansi yang berwenang
memberi perintah atau izin pengecualian, dan ketentuan pidana berkenaan dengan
rahasia bank. Pembahasan berikut ini mencoba menjelaskan satu persatu dari
perubahan-perubahan tersebut.
Pertama, UUP/1992 memberi pengertian atas rahasia
bank sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain
dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan.
Berkenaan dengan pengertian tersebut, UUP/1992 menjelaskan bahwa yang menurut
kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan adalah seluruh data dan informasi
mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari
orang dan badan yang diketahui oleh bank karena kegiatan usahanya. Dengan
demikian pengertian rahasia bank sebagaimana ditetapkan UUP/1992 sangat luas,
baik menyangkut obyek maupun kedudukan nasabahnya. Hal ini berbeda dengan
pengertian yang dianut UUP/1998, yang mengartikan rahasia bank sebagai segala
sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan
Simpanannya. Pengertian segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan
mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya memang tidak ada penjelasannya
secara rinci, namun pengertian rahasia bank sebagaimana ditetapkan UUP/1998 secara
tegas membatasi kedudukan nasabah yang wajib dirahasiakan keterangannya, yakni
hanya Nasabah Penyimpan. Dalam penjelasan Pasal 40 ditegaskan, bilamana nasabah
bank adalah Nasabah Penyimpan yang sekaligus juga sebagai Nasabah Debitur, bank
wajib tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai
Nasabah Penyimpan. Keterangan mengenai nasabah selain sebagai Nasabah
Penyimpan, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan.
Kedua, sebagaimana menjadi ketetapan dalam
UUP/1992, UUP/1998 juga memberi pengecualian kepada pihak-pihak serta untuk
kepentingan tertentu mendapatkan keterangan yang wajib dirahasiakan mengenai
nasabah bank. Bahkan UUP/1998 memperluas pihak dan kepentingan tersebut,
sehingga secara keseluruhan adalah sebagai berikut:bagi pejabat pajak untuk
kepentingan perpajakan; bagi pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara/Panitia Urusan Piutang Negara (BUPLN/PUPN) untuk penyelesaian piutang
bank yang sudah diserahkan kepada BUPLN/PUPN;bagi polisi, jaksa atau hakim untuk
kepentingan peradilan dalam perkara pidana;bagi pengadilan dalam perkara
perdata antara bank dengan nasabahnya;bagi bank lain dalam rangka tukar menukar
informasi antar bank;bagi pihak lain yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan atas
permintaan, persetujuan atau kuasa Nasabah Penyimpan;bagi ahli waris yang sah
dari Nasabah Penyimpan dalam hal Nasabah Penyimpantelahmeninggal
dunia.Disamping tujuh pihak tersebut di atas, masih terdapat pihak-pihak lain
yang dapat dikecualikan dari ketentuan rahasia bank, yakni Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), Akuntan Publik, dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Namun
karena adanya kondisi khusus pengaturan bagi pengecualian terhadap pihak-pihak
tersebut, terutama berkenaan dengan BPK dan Bapepam, maka akan dibahas tersendiri
dalam bagian ‘Pengecualian Bagi BPK dan Bapepam’.
Ketiga, bagi pengecualian sebagaimana disebutkan
di atas perlu dipenuhi syarat-syarat dan prosedur tertentu bilamana pihak-pihak
ingin mendapatkan keterangan yang wajib dirahasiakan. UUP/1992 menetapkan bahwa
perintah atau izin tertulis bagi pengecualian ada pada Menteri Keuangan,
sedangkan UUP/1998 yang mempunyai semangat kemandirian Bank Indonesia, telah
menetapkan bahwa perintah tertulis atau izin pengecualian tersebut ada pada
Pimpinan Bank Indonesia. Menurut Pasal 1 butir 21 jo butir 20 UUP/1998, yang
dimaksud Pimpinan Bank Indonesia adalah pimpinan Bank Sentral Republik
Indonesia. Sedangkan dalam perkara perdata yang terjadi antara bank dengan
nasabahnya, serta dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, tidak ada
perbedaan antara UUP/1992 dengan UUP/1998, dimana keduanya mengizinkan direksi
bank untuk menginformasikan keterangan mengenai nasabahnya.
Keempat, disamping memperberat ancaman pidana
perbuatan yang telah dikenal dalam UUP/1992, yakni perbuatan yang dengan
sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi memberikan keterangan yang wajib
dirahasiakan tanpa membawa perintah tertulis atau izin; dan perbuatan yang
dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan, UUP/1998 menambah
satu jenis perbuatan pidana baru yang tidak dikenal dalam UUP/1992. Yakni
perbuatan pidana yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib
dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A. Dengan adanya
ketentuan ini berarti bank dan pihak terafiliasi bukan saja bertanggung jawab
untuk tidak mengungkapkan rahasia bank kepada pihak-pihak yang tidak berwenang,
melainkan juga bertanggung jawab untuk memberikan keterangan mengenai rahasia
bank bilamana telah dipenuhi syarat-syarat dan prosedur pengecualian
sebagaimana diatur UUP/1998.
Pengecualian Bagi BPK dan Bapepam
Selain
bagi tujuh pihak dan kepentingan sebagaimana telah diterangkan di atas,
UUP/1998 juga menyiratkan pengecualian rahasia bank bagi Badan Pemeriksa
Keuangan berkenaan dengan keuangan negara yang dikelola oleh suatu bank,
Akuntan Publik dalam melaksanakan pemeriksaan terhadap bank untuk dan atas nama
Bank Indonesia, serta kepentingan di bidang pasar modal bagi bank yang
melakukan kegiatan sebagai lembaga penunjang pasar modal. Selain bagi Akuntan
Publik, pengaturan pengecualian terhadap ketentuan mengenai rahasia bank
tersebut hanya terdapat dalam bagian Penjelasan UUP/1998, sedangkan bunyi
pasalnya sendiri tidak menyinggung sama sekali mengenai pengecualian tersebut.
Pengaturan tersebut dapat kita lihat dalam Penjelasan Pasal 31 Paragraf kedua
dan Penjelasan Pasal 40 Paragraf ketiga dari UUP/1998, dan oleh karena itu
dapat menjadi permasalahan, apakah pengecualian bagi kedua pihak dan
kepentingan tersebut, yang timbul dari memori penjelasan berlaku dan mengikat?
Hal ini penting untuk didiskusikan berkenaan dengan adanya pendapat bahwa
Memori Penjelasan suatu undang-undang tidak boleh bertentangan dengan dan tidak
boleh memberikan ketentuan tambahan di luar (pasal-pasal dari) undang-undang
yang dijelaskannya. Pendapat seperti ini dianut oleh Sutan Remy Sjahdeini,
Pakar Hukum Perbankan, yang juga menambahkan bahwa hal-hal yang dikemukakan di
dalam Memori Penjelasan suatu Undang-undang tidak mengikat secara hukum, karena
suatu undang-undang tetap berlaku dan mengikat sekalipun seandainya dikeluarkan
tanpa diikuti Memori Penjelasan. Sebaliknya, suatu Memori penjelasan dari suatu
undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum tanpa adanya Undang-undang (yang
dijelaskan oleh Memori Penjelasan tersebut).
Ketidaktegasan
mengenai pengecualian bagi BPK dan Bapepam ini, dapat menjadi faktor yang
mempengaruhi kesempurnaan UUP/1998, karena ternyata UUP/1998 tidak berusaha
sepenuhnya memasukkan kemungkinan yang diberikan perundang-undangan yang ada
berkaitan dengan pengecualian pengungkapan rahasia bank. Padahal Pasal 101
Undang-undang Pasar Modal memberi kemungkinan bahwa dalam rangka pelaksanaan
penyidikan, Bapepam dengan permohonan izin dari Menteri Keuangan dapat
memperoleh keterangan dari bank tentang keadaan keuangan tersangka pada bank
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan. Sedangkan
menurut Pasal 4 Undang-undang No. 5 tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan, sehubungan dengan penunaian tugasnya, BPK berwenang meminta
keterangan yang wajib diberikan oleh setiap orang, badan/instansi pemerintah
atau badan swasta, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang.
Ketidaktegasan
tersebut juga dapat dilihat dari tidak adanya ketentuan yang mewajibkan bank
untuk memberikan keterangan mengenai nasabah kepada BPK dan Bapepam,
sebagaimana diwajibkan bagi kepentingan perpajakan, BUPLN/PUPN, peradilan
perkara pidana (Pasal 42A) dan pihak yang ditunjuk Nasabah Penyimpan (Pasal
44A). Sehingga atas kesengajaan tidak memberikan keterangan mengenai nasabah
kepada BPK dan Bapepam tidak ada sanksi yang dapat diancamkan. Hal ini berbeda
bila dibandingkan dengan ketentuan Pasal 47A UUP/1998, yang menetapkan bahwa
kesengajaan tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud
Pasal 42A dan Pasal 44A merupakan perbuatan pidana yang diancam dengan pidana
penjara serta denda.
Status Kerahasiaan Nasabah Debitur
Permasalahan
lain yang perlu dibahas lebih lanjut berkenaan dengan ketentuan rahasia bank
menurut UUP/1998 adalah bagaimana status kerahasian keterangan mengenai Nasabah
Debitur. Apakah secara a contrario dapat ditafsirkan bahwa karena Pasal 40
UUP/1998 hanya mewajibkan Bank dan Pihak Terafiliasi menjaga kerahasiaan
Nasabah Penyimpan dan Simpanannya, dan ditegaskan dalam Penjelasannya bahwa
keterangan mengenai Nasabah selain dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpan
bukan keterangan yang wajib dirahasiakan, menyebabkan keterangan mengenai
Nasabah Debitur menjadi terbuka bagi siapa saja dan untuk kepentingan apapun?
Bila
diperhatikan pengaturan mengenai rahasia bank di berbagai negara, maka terdapat
penggolongan pengaturan sebagai berikut:
Yang
memasukkan rahasia bank sebagai ketentuan pidana, dalam arti rahasia bank
sebagai kewajiban publik, sebagaimana banyak dianut oleh negara yang
menggunakan sistem hukum kodifikasi.
Yang
memasukkan rahasia bank sebagai ketentuan perdata, dalam arti rahasia bank
sebagai kewajiban yang timbul dari hubungan kontraktual, sebagaimana banyak
dianut oleh sebagian besar negara yang menggunakan sistem Common Law.
Yang
memasukkan sebagian pengaturan rahasia bank sebagai ketentuan pidana, namun di
sebagian lain sebagai ketentuan perdata (kombinasi/campuran), sebagaimana
dianut oleh negara Amerika Serikat.
Menurut
penggolongan tersebut, UUP/1992 dapat digolongkan yang memasukkan rahasia bank
sebagai ketentuan pidana. Hal ini dapat dilihat dalam keterangan Sutan Remy
Sjahdeini sebagai berikut:
“… ketentuan atau kewajiban rahasia bank…, di Indonesia ditentukan sebagai ketentuan pidana oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.”
“… ketentuan atau kewajiban rahasia bank…, di Indonesia ditentukan sebagai ketentuan pidana oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.”
Dibandingkan
dengan ketentuan UUP/1992, dalam UUP/1998 sebagaimana dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 40 ayat (1) jo. Pasal 47 UUP/1998, hanya memasukkan kewajiban
menjaga keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya sebagai rahasia
bank yang bersifat publik. Sedangkan keterangan mengenai Nasabah Debitur,
secara letterlijk dikecualikan sebagai rahasia bank yang bersifat publik. Hal
ini bisa dilihat dari penjelasan Pasal 40 ayat (1) paragraf ke-2 UUP/1998 yang
berbunyi sebagai berikut:
“Keterangan mengenai Nasabah selain sebagai Nasabah Penyimpan, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan Bank.”
Ketentuan
ini berbeda dengan obyek rahasia bank sebagaimana diatur dalam Pasal 40
UUP/1992 yang tidak membedakan apakah nasabah tersebut sebagai Nasabah
Penyimpan atau Nasabah Debitur. Segala keterangan yang tercatat pada bank
tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah merupakan rahasia bank.
Meskipun
keterangan mengenai Nasabah Debitur tidak diatur secara tegas dalam UUP/1998
sebagai rahasia bank, sebagaimana ketentuan rahasia bank menurut UUP/1992,
namun perubahan ini hanya merupakan satu bentuk apa yang dikenal dalam ilmu
hukum pidana sebagai depenalisasi. Depenalisasi di sini mempunyai pengertian
bahwa perbuatan yang semula diancam dengan pidana, ancaman pidananya
dihilangkan, akan tetapi masih dimungkinkan adanya tuntutan dengan cara lain,
misalnya dengan melalui hukum perdata atau hukum administrasi. Artinya bahwa
pengungkapan keterangan mengenai Nasabah Debitur yang dalam UUP/1992 ditentukan
sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, dengan UUP/1998 ini dihilangkan
ancaman pidananya, akan tetapi tidak menghilangkan sama sekali kemungkinan
untuk dituntut secara perdata maupun administratif. Dengan kata lain dapat
disebutkan bahwa tidak masuknya lagi keterangan mengenai Nasabah Debitur
menjadi keterangan yang wajib dirahasiakan oleh Bank dan Pihak Terafiliasi
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 40 UUP/1998, bukan menghilangkan sifat wajib
dirahasiakannya keterangan tersebut, namun hanya mengalihkan kewajiban tersebut
yang tadinya merupakan kewajiban yang bersifat pidana (termasuk ketentuan yang
bersifat publik) menjadi kewajiban yang bersifat perdata.
Alasan
penulis mengenai hal tersebut adalah bahwa kewajiban merahasiakan keterangan
mengenai Nasabah Debitur merupakan kewajiban yang bersifat perdata, serta
pengungkapan keterangan mengenai Nasabah Debitur dapat dituntut secara perdata
adalah:
Pertama, hubungan antara bank dengan nasabah debitur
merupakan fiduciary relation dan confidential relation, sehingga kepercayaan
serta kerahasiaan hubungan keduanya merupakan moral obligation (kepatutan).
Sejalan dengan hal tersebut dapat dikutip pernyataan M. Sholehuddin dalam
bukunya yang berjudul ‘Tindak Pidana Perbankan’ sebagai berikut:
“Keharusan bagi bank untuk memegang teguh rahasia bank adalah implementasi dari hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya yang dilandasi oleh asas kerahasiaan (konfidensialitas). Oleh karenanya, maka hubungan antara bank dengan nasabah, baik nasabah penyimpan dana maupun nasabah debitur adalah hubungan kerahasiaan (confidential relation).”
“Keharusan bagi bank untuk memegang teguh rahasia bank adalah implementasi dari hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya yang dilandasi oleh asas kerahasiaan (konfidensialitas). Oleh karenanya, maka hubungan antara bank dengan nasabah, baik nasabah penyimpan dana maupun nasabah debitur adalah hubungan kerahasiaan (confidential relation).”
Khususnya
di bidang kredit, dapat ditambahkan pula di sini pendapat Sutan Remy Sjahdeini
yang menyatakan bahwa:
“Bank hanya bersedia memberikan kredit kepada nasabah debitur atas dasar kepercayaan bahwa nasabah debitur mampu dan mau membayar kembali kredit tersebut, maka juga hubungan antara bank dan nasabah debitur, yaitu hubungan perjanjian kredit, bukanlah sekedar hubungan kontraktual biasa antara kreditur dan debitur tetapi juga hubungan kepercayaan (fiduciary relation).”Kedua, hubungan hukum antara Bank dengan Nasabah Debitur adalah berdasarkan perjanjian yang diadakan antara Bank dengan Nasabah Debitur. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 butir 18 UUP/1998 sebagai berikut:
“Nasabah Debitur adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian Bank dengan Nasabah yang bersangkutan.”
“Bank hanya bersedia memberikan kredit kepada nasabah debitur atas dasar kepercayaan bahwa nasabah debitur mampu dan mau membayar kembali kredit tersebut, maka juga hubungan antara bank dan nasabah debitur, yaitu hubungan perjanjian kredit, bukanlah sekedar hubungan kontraktual biasa antara kreditur dan debitur tetapi juga hubungan kepercayaan (fiduciary relation).”Kedua, hubungan hukum antara Bank dengan Nasabah Debitur adalah berdasarkan perjanjian yang diadakan antara Bank dengan Nasabah Debitur. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 butir 18 UUP/1998 sebagai berikut:
“Nasabah Debitur adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian Bank dengan Nasabah yang bersangkutan.”
Berdasarkan
prinsip hubungan kerahasiaan, hubungan kontraktual antara Bank dengan Nasabah
Debitur mengandung syarat yang tersirat (implied term) bahwa Bank dianggap
mempunyai kewajiban untuk merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Debitur.
Dalam hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata yang
menyebutkan bahwa:“persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang.”
Ketiga, adanya kemungkinan Bank digugat
melakukan perbuatan melanggar hukum oleh Nasabah Debitur, bilamana dengan
pengungkapan keterangan mengenai Nasabah Debitur dipandang oleh Nasabah Debitur
merugikan dirinya. Hal ini dimungkinkan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, yang
secara tegas mengatur:
“tiap
perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.”
Di samping
dapat digugat melakukan perbuatan melanggar hukum, Bank juga dimungkinkan
diancam pidana dengan menggunakan delik lain, yakni pengungkapan keterangan
mengenai nasabah Debitur dapat dipersangkakan sebagai kejahatan rahasia
jabatan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 322 KUHP, yang lengkapnya berbunyi:
Barangsiapa
dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau
pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah.
Jika
kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat
dituntut atas pengaduan orang itu. Dari dasar-dasar dan alasan sebagaimana
dibahas di muka, maka keterangan mengenai Nasabah Debitur juga merupakan
keterangan yang harus dirahasiakan, dimana kewajibannya timbul dari hubungan
kontraktual antara Bank dengan Nasabah Debitur. Dengan demikian karena sifat
kerahasiaan keterangan mengenai Nasabah Debitur lahir dari perjanjian (implied
term, Pasal 1339 KUHPerdata), pengungkapannya haruslah memenuhi
kualifikasi-kualifikasi tertentu pula yang disepakati antara Nasabah Debitur
dan bank. Sedangkan alasan lain yang memperkuat bahwa keterangan mengenai
Nasabah Debitur merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan adalah tidak
adanya ketentuan UUP/1998 yang secara tegas mewajibkan Bank untuk memberikan
keterangan mengenai Nasabah Debitur kepada siapapun dan untuk kepentingan
apapun. Dengan demikian keterangan mengenai Nasabah Debitur bukanlah keterangan
yang terbuka bagi siapa saja dan untuk kepentingan apapun, sehingga terdapat
syarat dan kondisi yang membatasi bank untuk memberikan keterangan mengenai
Nasabah Debitur dan Pinjamannya. Persoalannya kini adalah syarat dan kondisi
apa yang membolehkan pengungkapan tersebut?
Untuk
membahas pertanyaan tersebut, karena sejalan dengan pemikiran sistem hukum
Common Law, di mana kewajiban merahasiakan timbul sebagai implied term dari
perjanjian (kewajiban yang bersifat perdata), maka tidak ada salahnya untuk
mempertimbangkan penggunaan kerangka berpikir sistem hukum Common Law dalam hal
pengungkapan keterangan mengenai Nasabah Debitur ini. Dalam yurisprudensi
Inggris, terdapat satu kasus klasik yang dipakai sebagai standar kualifikasi
bagi pengungkapan keterangan mengenai nasabah, bahkan yurisprudensi ini pun
pada akhirnya menjadi standar pula bagi hampir semua Negara Persemakmuran
(Commonwealth), yakni putusan perkara Tournier v. National Provincial and Union
Bank of England, 1924 (yang dikenal juga dengan sebutan Tournier’s Case). Dari
putusan Tournier’s Case dapat diklasifikasikan bahwa Bank berhak untuk
mengungkapkan keterangan mengenai nasabahnya bilamana memenuhi salah satu dari
empat syarat/kondisi sebagai berikut:
Where disclosure is under compulsion by law.
Where there is a duty to the public to disclose.
Where the interest of the bank require disclosure.
Where the disclosure is made with the express or
implied consent of the customer.
Penjelasan
dari keempat syarat/kondisi tersebut, beserta contohnya adalah:
Pertama, bilamana pengungkapan tersebut
diharuskan oleh hukum, misalnya dalam hal Bank dimintai bukti dalam pemeriksaan
pengadilan, atau untuk kepentingan penyidikan. Dalam hal penyidikan,
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP, Bank dapat mengungkapkan
keterangan mengenai Nasabah Debitur kepada penyidik sebagai berikut:
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia;
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang, yakni di antaranya: (i) Pejabat PNS
tertentu di lingkungan Direktorat jenderal Pajak untuk melakukan penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan (Pasal 44 (1) UU No. 9 Tahun 1994 tentang
Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan); (ii)n Pejabat PNS tertentu di
lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk melakukan penyidikan tindak
pidana di bidang Kepabeanan (Pasal 112 (1) UU No. 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan); (iii) Pejabat PNS tertentu di lingkungan Bapepam untuk melakukan
penyidikan tidak pidana di bidang Pasar Modal (Pasal 101 ayat (2) Undang-undang
No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal).
Kedua, bilamana bank berkewajiban untuk
melakukan pengungkapan kepada masyarakat/publik, misalnya dalam hal dengar
pendapat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di mana Bank mengungkapkan keterangan
mengenai Nasabah Debitur tertentu dan pinjamannya untuk menjelaskan kepada
masyarakat mengenai adanya dugaan terjadinya penyelewengan kredit oleh Bank
terhadap Nasabah Debitur tertentu.
Ketiga, bilamana pengungkapan dikehendaki
demi kepentingan Bank (Where the interest of the bank require disclosure),
misalnya Bank demi kepentingan sendiri dapat mengungkapkan kepada pengadilan
dalam pemeriksaan sengketa antara bank dengan seorang penjamin (guarantor)
Nasabah Debitur.
Keempat, bilamana nasabah memberikan
persetujuannya (Where the disclosure is made with the express or implied
consent of the customer), misalnya dalam hal Nasabah memberikan
referensi-referensi bank kepada pihak lain, atau Nasabah memberikan kewenangan
kepada bank untuk mengungkapkan urusan-urusannya dalam rangka membantu
akuntannya.
Simpulan
Sebagai perwujudan gagasan untuk meningkatkan
fungsi kontrol sosial terhadap institusi perbankan, pembentuk undang-undang
telah melakukan pembaruan dalam UUP/1998 terhadap ketentuan mengenai rahasia
bank. Pembaruan tersebut meliputi pengertian dan obyek rahasia bank, perluasan
mengenai pihak dan kepentingan yang mengecualikan ketentuan rahasia bank,
pengalihan wewenang pemberian perintah dan izin pengecualian, serta memperberat
ancaman pidana dan penambahan delik rahasia bank.
Khusus dalam pengaturan pengecualian ketentuan
mengenai rahasia bank menurut UUP/1998, bagi BPK dan Bapepam, dikarenakan
terdapat kondisi khusus, maka status pengecualiannya menjadi tidak jelas.
Kondisi khusus tersebut adalah bahwa secara redaksional pengecualian bagi BPK
dan Bapepam tidak disebutkan dalam pasal-pasal UUP/1998, hanya disebutkan dalam
bagian penjelasan. Disamping itu tidak ada ketentuan dalam UUP/1998 yang
mewajibkan bank untuk memberikan keterangan kepada BPK dan Bapepam, sedangkan
di sisi lain terdapat peraturan perundangan yang memberikan wewenang bagi kedua
pihak tersebut untuk mendapatkan keterangan mengenai nasabah bank.
Berkenaan dengan keterangan mengenai Nasabah
Debitur, walaupun UUP/1998 tidak memasukkannya sebagai rahasia bank, namun
pihak bank maupun pihak terafiliasi tetap mempunyai kewajiban untuk menjaga dan
merahasiakannya. Kewajiban tersebut
timbul dari sifat kontraktual antara bank dan nasabah debitur. Oleh karena itu
menurut pendapat penulis, setiap pengungkapan keterangan mengenai Nasabah
Debitur pun tidak dapat dilakukan tanpa memenuhi kualifikasi-kualifikasi
tertentu.
Mishkin (2001: 8), secara sederhana
menjelaskan bank sebagai lembaga keuangan yang menerima deposito dan memberikan
pinjaman. Ia juga menjelaskan bahwa bank merupakan perantara keuangan (financial
intermediaries), sehingga menimbulkan interaksi antara orang yang
membutuhkan pinjaman untuk membiayai kebutuhan hidupnya, dengan orang yang
memiliki kelebihan dana dan berusaha menjaga keuangannya dalam bentuk tabungan
dan deposito lainnya di bank.
Financial intermediation merupakan suatu aktivitas penting dalam
perekonomian, karena ia menimbulkan aliran dana dari pihak yang tidak produktif
kepada pihak yang produktif dalam mengelola dana. Selanjutnya, hal ini akan
membantu mendorong perekonomian menjadi lebih efisien dan dinamis.
Bank Indonesia (2006: 5), mengkategorikan
fungsi bank sebagai financial intermediaries ini ke dalam tiga hal. Pertama,
sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan. Kedua,
sebagai lembaga yang menyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk kredit, dan
yang ketiga, melancarkan transaksi perdagangan dan peredaran uang.
Beberapa karakteristik yang membedakan
bank dengan non-bank financial intermediaries, menurut Bossone (2001),
adalah sebagai berikut:
1.
bank
menciptakan likuiditas dalam bentuk bank’s own liabilities atau surat
utang yang dibuat untuk peminjam. Bank tidak melanjutkan likuiditas yang sudah
ada, tetapi menambah likuiditas sistem setiap saat bank mengadakan kredit baru
kepada perusahaan melalui penciptaan deposit. Sedangkan non-bank financial
intermediaries bertindak sebagai capital market intermediaries yang
mengumpulkan likuiditas yang sudah ada (bank deposit) dari savers
dengan long position dan menginvestasikannya pada investor dengan short
position.
2.
bank
memberikan pengetahuan pada peminjamnya (borrowers) tentang operasi
harian, kebutuhan likuiditas, aliran pembayaran, juga faktor jangka pendek dan
pengembangan product market. Sedangkan non-bank mengembangkan
pengetahuan tentang prospek usaha jangka panjang, investasi potensial, trend
pasar (market trends), dan perubahan pada faktor fundamental ekonomi.
Bank memiliki peranan yang sangat penting
dalam perekonomian, terutama dalam sistem pembayaran moneter. Dengan adanya
bank, aktivitas ekonomi dapat diselenggarakan dengan biaya rendah. Bank juga
memiliki tiga karakteristik khusus yang berbeda dalam fungsinya bila
dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya. Tiga hal tersebut menurut George
(1997), adalah sebagai berikut.
Pertama, terkait dengan fungsi bank sebagai lembaga
kepercayaan untuk menyimpan dana masyarakat, bank berperan khusus dalam
penciptaan uang dan mekanisme sistem pembayaran dalam perekonomian. Keberadaan
perbankan memungkinkan berbagai transaksi keuangan dan ekonomi dapat
berlangsung lebih cepat, aman, dan efisien.
Kedua, sebagai lembaga intermediasi keuangan, perbankan
berperan khusus dalam memobilisasikan simpanan masyarakat untuk disalurkan
dalam bentuk kredit dan pembiayaan lain kepada dunia usaha. Hal ini akan
memperbesar dan mempermudah proses mobilisasi dan alokasi sumber-sumber dana
dalam perekonomian.
Ketiga, sebagai lembaga penanaman aset finansial, bank
memiliki peran penting dalam mengembangkan pasar keuangan, terutama pasar uang
domestik dan valuta asing. Bank berperan dalam mentransformasikan aset
finansial, seperti simpanan masyarakat ke dalam bentuk aset finansial lain,
yaitu kredit dan surat-surat berharga yang dikeluarkan pemerintah dan bank
sentral.
Ketiga fungsi penting tersebut terkait
dengan peran bank baik dari sisi mikro maupun makro. Dari sisi mikro, bank
dibutuhkan sebagai lembaga kepercayaan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
menyimpan dana, memperoleh kredit dan pembiayaan lain, maupun dalam melakukan
berbagai transaksi ekonomi dan keuangan. Dari sisi makro, bank dibutuhkan
karena peran pentingnya dalam proses penciptaan uang dan sistem pembayaran,
serta dalam mendorong efektivitas mekanisme transmisi kebijakan moneter dan
efisiensi alokasi sumber dana dalam perekonomian (Warjiyo, 2006: 431–433).
Peran tersebut menempatkan bank sebagai lembaga keuangan yang berperan penting
dalam pada sistem perekonomian kita.
Risiko likuiditas (liquidity risk)
merupakan salah satu jenis risiko yang dapat dialami oleh bank sebagai lembaga
perantara keuangan (fianancial intermediary). Risiko ini terkait dengan
masalah likuiditas dari perantara keuangan (bank) karena ada kemungkinan bagi
deposan untuk menarik dana yang mereka simpan melebihi dari biasanya.
Sebagai contoh, hal ini dapat terjadi pada
saat perekonomian sedang mengalami gejolak ekonomi (seperti fluktuasi nilai
tukar) yang menyebabkan para penabung menarik dananya dari bank yang sakit
maupun pada bank yang sehat, sehingga menimbulkan bank run. Untuk
mengatasi masalah ini, biasanya pemerintah melakukan penjaminan terhadap dana
yang disimpan oleh para penabung, karena penjaminan tersebut akan menyebabkan
para penabung merasa aman dan mempercayai sistem perbankan. Pemerintah juga
dapat bertindak sebagai the lender of the last resort, dengan memberikan
bantuan likuiditas kepada bank yang mengalami masalah likuiditas.
Pada saat industri perbankan tidak
memiliki pertahanan yang kuat dalam menjalankan usahanya, maka risiko–risiko
tersebut dapat menyerang sektor perbankan. Jika hal ini semakin memperburuk
kondisi perbankan, maka kepercayaan masyarakat terhadap kinerja perbankan akan
semakin menurun. Masyarakat (nasabah) yang menyimpan uang di bank mulai tidak
yakin akan kemampuan bank dalam memenuhi kewajibannya secara penuh, sehingga semakin
banyak nasabah yang menarik uangnya dari bank. Krisis kepercayaan yang diikuti
oleh penarikan dana secara besar–besaran dari bank oleh nasabah ini disebut
sebagai bank runs. Berikut beberapa teori tentang penyebab dan dampak
terjadinya bank runs (Bank Indonesia, 2002: 34–46):
1. Teori
penyebab bank run
1. Moral
hazard dan penurunan asset
Dalam teori ini diasumsikan bahwa
banyak bank yang memperoleh fasilitas berupa kemudahan mendapatkan pinjaman
dengan tingkat bunga yang aman dari pemerintah, sehingga terjadi persaingan
dalam menyalurkan kredit. Hal ini
mengakibatkan kinerja dari bank seolah–olah sangat sehat dibandingkan dengan
kondisi yang sebenarnya. Penurunan nilai aset terjadi jika pemerintah tidak
lagi memberikan jaminan pada pinjaman bank, sehingga mengubah ekspektasi
investor karena mereka merasa dananya tidak aman lagi. Bank runs terjadi
pada saat ketidakpercayaan investor atau nasabah diwujudkan dengan menarik dana
mereka dalam jumlah besar.
2. Disintermediasi
dan likuidasi
Diasumsikan bahwa pihak bank adalah
pihak yang baik, sehingga penyebab utama terjadinya krisis dan asset
deflation adalah financial panic (bank runs) yang tidak
diikuti oleh kebijakan yang tepat. Pihak bank melakukan investasi utamanya
untuk jangka panjang, sehingga membutuhkan pembiayaan dana yang bersifat jangka
panjang. Keadaan ini menyebabkan bank mudah terserang panik finansial.
2.
Teori
tentang dampak bank runs
1. No
contagion effect
Berdasarkan teori no contagion
effect, bank runs tidak akan merubah volume deposito dalam
pengertian bahwa nasabah yang tidak percaya kepada suatu bank memindahkan
dananya kepada bank lain, sehingga total simpanan dalam sistem perbankan akan
tetap jumlahnya. Sebaliknya, koalisi antar bank (dimana bank yang mengalami excess
liquidity mengalirkan dananya kepada bank yang kekurangan likuiditas) akan
mengurangi efek bank runs lebih lanjut.
2. Contagion
effect
Ketidakpercayaan pada suatu bank juga
akan membawa ketidakpercayaan kepada sistem perbankan secara keseluruhan,
sehingga akan menimbulkan panics. Contagion effect dari bank
runs suatu bank terjadi jika nasabah menarik dananya dari bank yang gagal
dan yang masih baik dalam waktu yang sama tanpa adanya proses pemindahan
deposito. Contagion effect dapat ditentukan dengan membandingkan
uang kartal terhadap simpanan dana pihak ketiga (DPK) dalam sistem perbankan
(rasio C/D).
Sebagai lembaga
keuangan yang berperan penting bagi sistem perekonomian di negara kita, bank
dituntut agar mampu mengelola berbagai risiko yang harus dihadapi oleh lembaga
perantar keuangan. Jika tidak, maka risiko ini akan memberikan effect
nya kepada para masyarakat. Tingkat kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat
kepada lembaga keuangan menentukan eksistensi dari lembaga keuangan (bank)
tersebut yang akhirnya berpengaruh kepada kelancaran aliran dana dalam sistem
perekonomian negara kita.
Masalah Perbankan , Renten dan Fee dalam
Pandangan Islam
Di dalam
kehidupan modern ini keberadaan bank ternyata sudah menjadi kebutuhan yg
penting bagi masyarakat luas. Mulai dari yg menabung yg meminjam uang dan
sampai kepada yg menggunakan jasanya utk mentransfer uang dari satu kota atau
negara kekota atau negara lain. Lalu bagaimanakah pandangan Islam tentang
perbankan? Ikuti dan simak kajian berikut ini! Mengenai perbankan ini
sebenaroya sudah dikenal kurang lbh 2500 sebelum masehi di Mesir Purba dan
Yunani dan kemudian oleh bangsa Romawi. Perbankan modern berkembang di Itali
pada abad pertengahan yg dikuasai oleh beberapa keluarga utk membiayai
ke-Pausan dan perdagangan wol. Selanjutnya berkembang pesat pada abad ke-18 dan
19. Sesuai dgn fungsinya bank-bank terbagi kepada bank primer yaitu bank
sirkulasi yg menciptakan uang dan bank sekunder yaitu bank-bank yg tidak
menciptakan uang juga tidak dapat memperbesar dan memperkecil arus uang seperti
bank-bank urnum tabungan pembiayaan usaha dan pembangunan. Kalau kita
perhatikan bentuk hukumnya maka struktur bank-bank di Indonesia adalah
bank-bank negara bank-bank pemerintah daerah bank-bank swasta nasional
bank-bank asing campuran dan bank-bank milik koperasi. Dalam topik ini ada dua
masalah yg akan dibahas yaitu bank dan rente bank dan fee. Pengertian Bank dan
Rente Bank menurut Undang-undarig Pokok Perbankan tahun 1967 adl lembaga
keuangan yg usaha pokoknya memberikankredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas
pembayaran serta peredaran uang. Dari batasan tersebut jelas bahwa usaha bank
akan selaludikaitkan dgn masalah uang. Di dalam Ensikiopedi Indonesia
disebutkan bahwa Bank ialah suatu lembaga keuangan yg usaha pokoknya adl
memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran
uang dgn tujuan memenuhi kebutuhan kredit dgn modal sendiri atau orang lain.
Selain dari itu juga mengedarkan alat tukar baru dalam bentuk uang bank atau
giral. Jadi kegiatannya bergerak dalam bidang keuangan serta kredit dan
meliputi dua fungsi penting yaitu sebagai perantara pemberi kredit dan
menciptakan uang. Rente adl istilah yg berasal dari bahasa Belanda yg lbh
dikenal dgn istilah bunga. Oleh Fuad Muhammad Fachruddin disebutkan bahwa rente
ialah keuntungan yg diperoleh perusahaan bank krn jasanya meminjarnkan uang utk
melancarkan perusahaan orang yangmeminjam. Berkat bantuan bank yg meminjarnkan
uang kepadanya perusahaannya bertambah maju dan keuntungan yg diperolehnya juga
bertambah banyak. Menurut Fuad Fachruddin bahwa rente yg dipungut oleh bank itu
haram hukumnya. Sebab pembayarannya lbh dari uang yg dipinjarnkannya. Sedang
uang yg lbh dari itu adl riba dan riba itu haram hukumnya. Kemudian dilihat
dari segi lain bahwa bank itu hanya tahu menerima untung tanpa risiko apa-apa.
Bank meminjarnkan uang kemudian rentenya dipungut sedang rente itu semata-mata
menjadi keuntungan bank yangsudah ditetapkan keuntungannya. Pihak bank tidak
mau tahu apakah orang yg meminjam uang itu rugi atau untung. Di dalam Islam dikenal
ada doktrin tentang riba dan mengharamkannya. Islam tidak mengenal sistem
perbankan modern dalam arti praktis sehingga terjadi perbedaan pendapat. Beda
pandangan dalam menilai persoalan ini akan berakibat timbul
kesimpulan-kesimpulan hukum yg berbeda pula dalam hal boleh tidaknya serta
halal haramnya. Dunia perbankan dgn sistem bunga kelihatannya semakin mapan
dalam perekonomian modern selungga hampir tidak mungkin menghindarinya apalagi
menghilangkannya. Bank pada saat ini merupakan sesuatu kekuatan ekonomi
masyarakat modern. Dari satu segi ada tuntutan keberadaan bank itu dalam
masyarakat utk roengatur lalu lintas keuangan di lain pihak masalah ini
dihadapkan dgn keyakinan yg dianut oleh urnmat Islam yg sejak awal kehadiran
agama Islam telah didoktrinkan bahwa riba itu haram hukumnya. Pada saat
dihararnkan riba itu telah berurat berakar dalam masyarakat jahiliah yg
merupakan pemerasan orang kaya terhadap orang miskin. Orang kaya bertambahkaya
dan orang miskin bertambah melarat. Sebagian besar ulama membagi riba menjadi
dua macam yaitu
Riba
nasiah yaitu riba yg terjadi krn ada penangguhan pembayaran utang.
Riba
fadhl riba yg terjadi krn ada tambahan pada jual beli benda atau bahan sejenis.
Untuk menentukan status hukum bermuamalah yg baik masih banyak terdapat
perbedaan pendapat dikalangan para ulama di. antaranya
Abu
Zahrah guru besar pada Fakultas Hukum Universitas Kairo Abu A’la al-Maududi di
Pakistan Muhammad Abdullah al-’Arabi dan Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa bunga
bank itu dilarang oleh Islam oleh sebab itu urnmat Islam tidak boleh
bermuamalah dgn bank yg memakai sistem bunga kecuali dalam keadaan darurat . Di
antara ulama tersebut Yusuf Qardhawi tidak mengenal istilah “darurat atau
terpaksa” tetapi secara mutlak beliau menghararnkan.
Mustafa
Ahmad az-Zagra guru besar hukum Islam dan hukum perdata Universitas Syariah di
Damaskus mengernukakan bahwa riba yg dihararnkan sepeiti riba yg berlaku pada
masyarakat jahiliah yg menipakan pemerasan terhadap orang yg lemah yg bersifat
konsurntif. Berbeda dgn yg bersifat produktif tidak termasuk haram.
A. Hasan
berpendapat bahwa bunga bank seperti yg berlaku di Indonesia bukan riba yg
diharamkan krn tidak berlipat ganda sebagaimana yg dimaksud oleh firman Allah
dalam surat Ali lmran 130.
Majelis
Tafjih Muhammadiah dalam muktamaroya di Sidoarjo 1968 memutuskan bahwa bunga
bank yg diberikan oleh bank kepada para nasabahnya atau sebaliknya termasuk
syubhat atau mutasyabihat artinya belum jelas halal haramnya. Sesuai dgn
petunjuk Hadis Rasulullah kita harus berhati-hati dalam menghadapi hal-hal yg
masih syubhat itu. Dengan demikian kita boleh bermuamalah dgn bank apabila
dalam keadaan terpaksa saja. Setelah kita perhatikan dalam garis besarnya ada
empat pendapat yg berkembang di kalangan ulama mengenai masalah riba ini yaitu
Pendapat
yg menghararnkan.
Pendapat
yg menghararnkan bila bersifat konsurntif dan tidak haram bila bersifat
produktif.
Pendapat
yg mengatakan syubhat boleh tapi dalam keadaan terpaksa.
Pendapat
yg membolehkan . Masing-masing kelompok yg berbeda pendapat itu semua merujuk
kepada nash Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Narnun dalam memahaminya dan
menafsirkannya terjadi perbedaan pendapat. Sebagai bahan kajian di bawah ini
disebutkan ayat-ayat yg berhubungan dgn riba. Allah SWT berfirman yg artinya “Dan
sesuatu riba yg kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia maka riba
itu tidak menambah padasisi Allah. Dan apa yg kamu berikan berupa zakat yg kamu
maksudkan utk mencapai keridhaan Allah maka itulah orang-orang yg
melipatgandakan .” “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi Kami
haramkan atas mereka yg baik-baik dihalalkan bagi mereka dan krn mereka banyak
menghalangi dari jalan Allah dan disebabkan mereka memakan riba pudahal
sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanyu dan krn mereka memakan harta
orang dengun jalan yg butil. Kami telah menyediakan utk orang-orung yg kafir di
antara mereka itu siksa yg pedih.” “Hai orang-orang yg beriman janganlah
kamu memakan riba dgn berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keuntungan.” Dalam ayat di atas sudah ada ketegasan tentang
larangan memakan riba. Sebagian besar ulama berpendirian bahwa riba yg dimaksud
di sini adl riba nasi’ah itu tetap haram selamanya walaupun tidak berlipat
ganda. Kata “berlipat ganda” dalam ayat tersebut hanya menyatakan peristiwa yg
pernah terjadi di masa jahiliah dan jangan dipahami mafhum mukhalafnya yaitu
sekiranya tidak berlipat ganda berarti tidak haram . “Orang-orung yg makan
riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yg kemasukun
syaitan lantaran penyakit gila. Keadaan mereka demikian itu adl disebabkan
mereka berkata sesungguhnya jual beli itu sama dgn riba padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan menghararnkan riba. Orang-orang yg telah sampai
kepadanya larangan dari Tahannya lulu terus berhenti maka baginya apa yg telah
diambilnya dahulu ; dan urusannya kepada Allah. Orang yg mengulangi maka orang
ita adl penghuni-penghuni neraka mereka kekal di dalamnya.” “Allah memusnahkan
riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai tiap orang yg tetap
dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” “Sesungguhnya orang-orang yg beriman
mengerjakan amal saleh mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat mereka
mendapat pahala di sisi Tahannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak mereka bersedih hati.” “Hai orang-orang yg beriman bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yg beriman.” Maka jika
kamu tidak mengerjakan maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat maka bagirnu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak dianiaya.” “Dan jika dalam kesukaran maka berilah tangguh
sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan itu lbh baik bagimu jika kamu
mengetahui.” Oleh sebagian ulama seperti al-Maraghi dan as-Shabuni
menyatakan bahwa pengharaman riba diturunkan secara bertahap sebagaimana
keharaman khamar . Berturut-turut diturunkan ayat dalam surat Ar-Rum 39 An-Nisa
160-161 Ali ‘Imran 130 dan Al-Baqarah 275-280. Pada ayat 278 dgn tegas
dinyatakan “Dan tinggalkan sisa riba .” Dan pada ayat 279 dinyatakan“Dan
jika kamu bertaubat maka bagimu pokok hartamu.” Kalau masih ada sisa
kelebihan yg belum dipungut tidak boleh lagi dipungut dan hanya dibenarkan
memungut modalnya saja tidak boleh lebih. Hal ini berarti mengambil kelebihan
itu tetap tidak boleh. Sebagian ulama yg lain berpendapat bahwa walaupun ayat
yg disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat yg terakhir diturunkan tetapi dalam
menetapkan hukumnya tetap ada kaitannya dgn surat Ali ‘Imran 130 yaitu haram
hukumnya sekiranya berlipat ganda. Ada juga orang mempertanyakan mengapapa
dagang yg mengambil kelebihan lbh besar dapat dibenarkan sedangkan bank yg
memungut kelebihan yg hanya sedikit saja tidak dibenarkan? Mengenai hal ini
barangkali jawaban yg tepat ialah bank tidak menanggung risiko rugi walaupun
kelebihan tidak banyak. Sedangkan pada dagang ada kemungkinan menanggung risiko
rugi krn dalam dunia dagang tidak mesti terus-menerus beruntung. Pihak bank
tidak mau tahu apakah para peminjam rugi atau untung. Malahanbarang/jaminan pun
dapat disita disamping kerugian yg dideritanya. Disamping ayat-ayat tersebut di
atas diperkuat lagi dgn keterangan beberapa hadits seperti Rasulullah SAW
bersabda yg artinya “Tiap-tiap pinjaman yg menarik suatu manfaat adl semacam
riba.” . “Sesungguhnya Nabi SAW melarang pinjaman yg menarik suatu
manfaat.” . “Tiap-tiap pinjaman yg menarik manfaat adl riba.”
Sebagian ulama memandang bahwa hadis tersebut di atas ada cacatnya. Hadis
pertama mauquf dan hadis kedua dan ketiga cacat sanadnya.lbnu Mas’ud berkata yg
artinya “Sesungguhnya Nabi SAW telah melaknat pemakan riba pemberi makannya
dan dua orang saksi dan penulisnya. Jika mereka tahu yg demikian maka mereka
dilaknat dgn lidah Nabi Muhammad pada hari kiamat.” Sabda Nabi SAW yg
artinya “Sesungguhnya riba itu hanya riba nasi’ah saja.” . Kendatipun di
antara hadis itu ada yg dipandang lemah tetapi jiwanya sejalan dgn ayat-ayat
riba di atas. Bank dan Fee Mengenai pengertian bank sudah dijelaskandi atas. Di
sini akan disinggung mengenai masalah fee. Fee maksudnya adl pungutan dana utk
kepentingan administrasi seperti keperluan kertas biaya operasional dan
lain-lain. Adapun namanya pungutan itu tetap termasuk bunga. Dengan demikian
persoalannya tetap sama seperti uraian terdahulu yaitu ada yg setuju dan ada
pula yg menentangnya. Bagi ulama yg membolehkan pungutan dana dan peminjam dan
pemberian dana kepada penabung tidak ada masalah bila bermuamalah dgn bank.
Akan tetapi bagi ulama yg menyatakan syubhat atau boleh bermuamalah dgn bank
dalam keadaan darurat masih mengundang pertanyaan. Sampai kapan masa darurat
itu berakhir dan sampai kapan pemahaman syubhat itu hilang? Oleh sebab itu
perlu ada solusi ada pemecahan masalah yg dihadapi oleh urnmat Islam mengenai
perbankan ini. Salah-satu alternatif atau jalan keluarnya adl mendirikanBank
Islam. Mengenai masalah ini akan diuraikan tersendiri. Bank Islam Dalam dunia
usaha dan perdagangan sukar orang menghindar dari perbankan krn via bank lbh
mudah melakukan lalu lintas keuangan.Tetapi.di sisi lain urnmat Islam
dihadapkan kepada suatu ketentuan hukum yg terdapat perbedaan pendapat di
kalangan ulama yaitu apakah bermuamalah dgn bank itu sesuai dengap ajaran Islam
atau tidak? Keragu-raguan itu sedapat mungkin dihilangkan dan harus ada jalan
keluar yg ditempuh agar perekonomian yg dijalankan urnmat Islam tidak
bertentangan dgn ajaran Islam yg dianutnya. Menyadari akan kenyataan ini urnmat
Islam telah berusaha mencari jalan keluarnya yaitu mendirikan Bank Islam krn
Bank semacam ini menyediakan sarana bagi ummat Islam utk melakukan kegiatan
muamalah sesuai dgn ajaran Islam. Sarana yg tersedia pada Bank Islam adl berupa
fasilitas perbankan menurut ajaran Islam baik utk usaha yg produktif maupun
investasi. Di dalam buku Apa dan Bagaimana Bank Islam oleh penulisnya
disebutkan bahwa
Bank
Islam didirikan krn dilatarbelakangi oleh keinginan urnmat Islam utk menghindar
dari riba dalam kegiatan muamalahnya.
Bank
Islam didirikan krn dilatarbelakangi oleh keinginan urnmat Islam utk memperoleh
kesejahteraan lahir dan batin melalui kegiatan muamalah yg sesuai dgn perintah
agama.
Bank
Islam didirikan krn dilatarbelakangi oleh keinginan urnmat Islam utk mempunyai
alternatif pilihan dalam mempergunakan jasa-jasa perbankan yg dirasakan lebib
sesuai. Kemudian ada perbedaan prinsip manajemen antara Bank Islam dgn bank
konvensional dalam mengharmonisasikan kepentingan penyandang dana pemegang
saham dan pemakai dana. Pada bank konvensional kepentingan penyandang dana adl
memperoleh imbalan berupa bunga simpanan yg tinggi sedang kepentingan pemegang
saham adl memperoleh imbalan spread yg optimal antara suku bunga simpanan dan
suku bunga pinjaman. Kepentingan pemakai dana adl biaya yg lbh murah berupa
tingkat bunga yg rendah. Dengan demikian terhadap ketiga kepentingan tersebut
sulit diharmonisasikan. Berbeda dgn Bank Islam bahwa kepentingan penyandang
dana pemegang saham dan pemakai dana dapat diharmonisasikan karenasistem bagi
hasil. Masing-masing memperoleh imbalan bagi hasil sesuai dgn keadaan yg
benar-benar terjadi. Dengan demikian manajemen bank berusaha mengoptimalkan
keuntungan pemakai dana krn pemakai dana itulah pada hakikatnya yg berdiri di
barisan depan utk mengelola dana yg dipinjarnkan oleh bank. Pada dasarnya Bank
Islam tidak menyalurkan dana secara langsung kepada pemakai dana tetapi dalam
bentuk barang yangdiperlukan dan pihak banklah yg mengeluarkan biayanya.
Pemakai dana menunjuk langsung pemasok barang dgn kualitas dan harga pantas yg
berlaku di pasaran. Dalam keadaan tertentu Bank Islam dapat menyalurkan dana
dalam bentuk tunai kepada pemakainya sebagai pelengkap dan jumlahnya lbh kecil
dari modal yg berbentuk barang. Sebagai ganti sistem bunga. Bank Islam
menggunakan berbagai cara yg bersih dari unsur riba antara lain ialah
MudharabahMudbarabah
ialah suatu perjanjian usaha antara pemilik modal dgn pengusaha. Pemilik modal
menyediakan seluruh dana yg diperlukan dan pihak pengusaha melakukan
pengelolaan. Hasil usaha bersama ini dibagi sesuai dgn kesepakatan bersama pada
saat dibuat dan ditandatangani perjanjian. Umpamanya 60 40; 50 50. Sekiranya
terjadi kerugian yg bukan krn penyelewengan atau keluar dari kesepakatan maka
pemilik modal dan pengusaha sama-sama menanggung rugi yaitu rugi dana dan nigi
tenaga .
Pihak
perbankan dan pengusaha biasanya lbh berhati-hati dalam menjalankan peran
masing-masing.Tata cara yg lbh rinci demikian
Pihak
bank menyediakan dana sepenuhnya utk keperluan suatu proyek.
Pengusaha
mengelola proyek itu tanpa campur tangan pihak bank narnun diberi wewenang utk
mengawasi proyek tersebut.
Pihak bank
dan pengusaha menetapkan bersama mengenai pembagian keuntungan.
Bila
terjadi kerugian maka pihak bank yg memikul risiko sedang pihak pengusaha
menanggung kerugian tenaga pikiran waktu dan managerial skill seita kehilangan
keuntungan bagi hasil yg seharusnya diperolehnya.
MusyarakahMusyarakah
ialah suatu perjanjian usaha antara dua atau beberapa orang pemilik modal utk
menyerahkan modalya pada suatu proyek. Keuntungan dibagi atas kesepakatan
bersama atau berdasarkan besar kecilnya modal masing-masing. Demikian juga
mengenai kerugian yg diderita dicantumkan dalam perjanjian kerja sama itu.
Dalam masyarakat kita kenal dgn istilah patungan . Bank di satu pihak dan
pengusaha di pihak lain.
MurabahahMurabahah
ialah pembelian barang dgn pembayaran ditangguhkan. Pembiayaan murabahah adl
pembiayaan yg diberikan kepada nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan
produksi.
Cara yg
ditempuh ialah pihak bank membelikan barang-barang yg diperlukan oleh nasabah
atas nama bank tersebut. Pada saat itu juga pihak bank menjual barang tersebut
kepada nasabah dgn harga yg disetujui bersama dan akan dibayar dalam jangka
waktu tertentu pula.Dalam jangka waktu yg telah ditetapkan itu harga tidak
boleh berubah walaupun di pasaran harga naik atau turun. Pada saat jatuh tempo
belum tentu pihak bank mendapat keuntungan bila harga barang naik . Demikian
juga sebaliknya adakalanya nasabah yg rugi krn barang turun drastis.
Wadi’ahWadi’ah ialah titipan . Pihak bank
berkewajiban menjaga titipan itu dgn penuh amanah.Di antara barang titipan itu
atas seizin penitip dapat dipergunakan . Bila mendapat keuntungan dari pemanfaatan barang titipan itu sepenuhnya
menjadi milik bank. Bila sewaktu-waktu titipan itu diminta kembali pihak bank
harus mengembalikan sepenuhnya sesuai dgn yg tercantum dalam surat penitipan
dan jangka waktu yg telah ditetapkan. Bila pihak bank memberikan bonus kepada
para nasabahnya tidak bertentangan dgn ajaran Islam asal tidak ada perjanjian
sebelumnya. Hal ini sangat bergantung kepada pihak bank berapayang pantas
diberikannya. Demikian gainbaran singkat yg dapat ditempuh agar terhindar dari
kemungkinan terlibat ke dalam riba yg dilarang oleh agama Islam walaupun
batas-batas yg dianggap riba masih diperselisihkan di kalangan para ulama.
Jalan yg lbh aman adl menempuh praktek muamalahberdasarkan ajaran lslam seperti
Banklslam yaitu BankMuamalat BMT Baitui Qiradh Baital Tanwil BPS Syari’ah dan
nama-nama lainnya yg beroperasi sesuai dgn syariat Islam. Suatu sistem atau
cara perbankan yg dibuat agar sesuai dgn syariat tidaklah secara otomatis
melabelkan halal 100 %. Hal ini tergantung kenyataan praktek di lapangan.
Apabila kenyataan di lapangan para oknum-oknumnya sama dgn menggunakan sistem
seperti bank konvensional ketika diluarnya tentulah hukum haram dan yg masih
diperdebatkan tetap berlaku padanya. Jadi perlu adanya keselarasan antara teori
dan prakteknya di lapangan. Bagi bangsa Indonesia hal ini baru mulai berkembang
dalam masyarakat dan belum memasyarakat di kalangan urnmat Islam. Dalam
bermuamalah telah lama terbiasa dgn bank konvensional yg dikenal selama ini.
Pada suatu ketika masyarakat akan dapat memahaminya danmengikutinya bila
temyata dilihatnya keberhasilan bank-bank atau lembaga-lembaga yg mengatur lalu
lintas keuangan yg bercorak Islam yg sudah mulai hadir dalam masyarakat bangsa
Indonesia. Lebih menarik sekarang telah terdengar bahwa warga non muslim telah
banyak yg terlibat di dunia perbankan dgn sistem Islam.
0 komentar:
Posting Komentar